A. Pengertian Hadits,
Sunnah, Khabar, Atsar, dan Hadits Qudsi
1.
Hadits
Menurut
bahasa (etimologi), kata hadits ( الحديث ) mempunyai beberapa arti, yaitu :[1]
a.
Sesuatu yang baru (الجديد), dekat , lawannya adalah al-qadim
(lama). Artinya bahwa sesuatu itu menunjukan pada waktu yang singkat/dekat.
Seperti : “Orang yang baru masuk Islam”
b.
dan khabar atau berita , perkataan/ucapan, artinya warta
berita, atau informasi yang disampaikan oleh seseorang kepada orang lain.
1.
Menurut pengertian ahli hadits, pengertian hadits dibagi menjadi dua, yaitu
pengertian hadits yang luas dan pengertian hadits yang terbatas. Pengertian
hadits yang terbatas adalah :[2]
ما اضيف
الىالنبي صلي الله عليه وسلم قولا او فعلا او تقريرا او صفة
“Sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
pernyataan (taqrir) dan sebagainya”.
Pengertian hadits di atas mengandung
empat unsur, yakni perkataan, perbuatan, pernyataan, dan sifat-sifat atau
keadaan, Nabi Muhammad SAW yang lain, yang kesemuanya hanya disandarkan kepada beliau, tidak termasuk hal-hal yang disandarkan kepada para
sahabat dan tidak pula tabi’in.
Sementara
menurut pengertian yang luas, hadits tidak hanya disandarkan kepada Nabi
Muhammad SAW., tetapi juga mencakup perkataan, perbuatan, atau taqrir yang
disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, sehingga dalam hadits ada
istilah hadits marfu’ (hadits yang disandarkan kepada Nabi SAW), hadits
mauquf (hadits yang disandarkan kepada sahabat), dan maqtu’ (yang
disandarkan kepada tabi’in).
2.
Menurut ahli ushul,
yang dimaksud dengan ahli ushul disini adalah ahli hukum Islam (ahli ushul
fiqih) dan ushul hadits. Menurut ahli usuhul hadits adalah ; “Segala
perkataan, perbuatan, dan ketetapan nabi yang bersangkut paut dengan hukum”
Menurut mereka,
tidak termasuk hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum, seperti
masalah kebiasaan sehar-hari atau adat istiadat.
2. Sunnah (السنة)
Sunnah menurut
bahasa (etimologi), merupakan masdar dari kata yang berarti cara, jalan yang ditempuh,
tradisi atau adat kebiasaan, atau ketetapan, baik itu hal yang terpuji maupun
tercela, baik atau pun buruk. Arti semacam itu berdasarkan hadits berikut :[3]
“Sungguh kamu akan
mengikuti sunnah atau jalan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal,
sehasta demi sehasta, sehingga andai mereka memasuki sarang dhab (biawak),
niscaya kmau akan mengikutinya”.
Dalam al-Qur’an,
kata sunnah mengacu arti ketetapan atau hukum Allah. Hal tersebut dapat
dijumpai dalam beberapa ayat, antara lain QS. Al-Isra’ ayat 77 sebagai berikut
:
sp¨Zß `tB ôs% $uZù=yör& n=ö6s% `ÏB $oYÎ=ß ( wur ßÅgrB $oYÏK¨YÝ¡Ï9 ¸xÈqøtrB ÇÐÐÈ
Artinya: (kami menetapkan yang demikian) sebagai suatu ketetapan
terhadap Rasul-rasul Kami yang
Kami utus sebelum kamu dan tidak akan
kamu dapati perobahan bagi ketetapan Kami itu. (QS. Al-Isra’: 77)
Pengertian sunnah
menurut ahli hadis adalah:
ما اثِرَ عنِ
النبى ص م مِن قولٍ أو فعل أو تقرير أو صفة أو خَلْقِيّةٍ أوسِيَرَةٍ،سواء كان قبل
البِعْثَةِ أو بعدها
“Segala yang dinukilkan / bersumber dari Nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir (ketetapan),
tabiat, budi pekerti, perjalanan hidup, baik yang terjadi sebelum Nabi Muhammad
diutus menjadi rasul maupun sesudahnya”.
Mayoritas ulama
hadits (Muhadditsin), menegaskan bahwa sunnah dalam pengertian di atas
ini adalah murodif (sinonim) dengan kata hadits. Maka inilah yang
dimaksud dengan kata “sunnah” dalam sabda Nabi SAW berikut : “Aku tinggalkan
untukmu dua perkara; kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang pada
keduanya, yaitu Kitab Allah (al-Qur’an), dan Sunnah Nabi-Nya.
Pengertian sunnah
menurut ahli ushul:[4]
كل ما صدر عن البي غير القران الكريم من قول او فعل او تقرير مما يصلح ان يكون د ليلا لحكم شرعي
“ Segala sesuatu
yang bersumber dari Nabi selain Al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan,
perbuatan maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi hukum syara’”
Bagi ahli ushul,sifat, prilaku, sejarah hidup, dan segala yang
bersumber dari Nabi yang tidak berkaitan dengan hukum syara’ dan terjadi
sebelum diangkat menjadi rasul tidak dikatakan sunnah. Ahli Ushul berargument
dengan firman Allah Q.S. al-Hasr : 7, yang artinya “ apa yang diberikan
Rasulullah saw kepadamu, maka terimalah dia dan apa-apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah
sangat keras hukumNya.”
Pengertian sunnah menurut
ahli fiqh
ما ثبت عن البي من غير افتراض ولا وجوب وتقابل الواجب وغيره من الاحكام الخمسه
“Segala ketetapan
yang berasal dari Nabi saw selain yang difardukan dan diwajibkan dan termasuk
hukum (taklifi) yang lima”
Ulama ahli fiqh
memusatkan pembahasan tentang pribadi dan prilaku Rasulullah pada
perbuatan-perbuatan yang melandasi hukum syara’, untuk diterapkan pada
perbuatan manusia pada umumnya baik yang wajib, haram, makruh, mubah maupun
sunnah.
Dari pengertian
tersebut diketahui bahwa sunnah lebih luas daripada hadits. Sunnah meliputi
segala yang datang dari Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan,
ketetapan (taqrir),
maupun sifat-sifat
dan perilaku beliau, atau perjalanan hidup beliau, baik sebelum maupun sesudah
diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Ulama yang mendefinisikan sunnah seperti itu,
memandang diri Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah atau suri tauladan, qudwah
(contoh atau teladan) yang paling sempurna, bukan semata-mata sebagai
sumber hukum.
Menurut ahli ushul
fiqih, sunnah didefinisikan sebagai berikut : “Segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW, selain al- Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun taqrirnya yang pantas untuk dijadikan dalil bagi penetapan hukum syara’
(hukum agama Islam).
Definisi ahli
ushul fiqih ini membatasi pengertian sunnah hanya pada sesuatu yang disandarkan
atau bersumber dari Nabi Muhammad SAW, yang berkaitan dengan penetapan hukum
syara’. Dengan demikian segala sifat, perilaku, sejarah hidup Nabi SAW, yang
tidak ada hubungannya dengan hukum syara’ tidak dianggap sebagai sunnah.
Dengan pengertian
seperti ini, jumlah sunnah lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah
hadits. Sedangkan sunnah menurut Fuqoha (ahli fiqih), dalam istilah
mereka, sunnah berarti bukan wajib, bukan haram, bukan makruh dan bukan pula
mubah (masuk dalam hukum taklifi yang lima). Maka sunnah di sini berarti “sesuatu
yang utamanya dikerjakan, sebab akan mendapatkan pahalabila dikerjakan, tetapi
tidak akan disiksa bila dilakukannya”.
3. Khabar ( الخبر)
Dari segi bahasa khabar
berarti warta atau berita. Maksudnya warta berita yang disampaikan
kepada seseorang kepada orang lain. Kata khabar adalah bentuk tunggal dan
jamaknya adalah akhbar. Sinonim kata khabar adalah naba’ jamaknya
adalah anba’. Menurut istilah ulama ahli hadits khabar adalah “segala
bentuk berita, baik yang datang dari nabi, sahabat nabi, maupun dari tabiin”.[5]
Ada juga ulama
yang berpendapat bahwa khabar hanya dimaksudkan sebagai berita yang diterima
dari selain Nabi Muhammad SAW. Orang yang meriwayatkan atau menyampaikan suatu
peristiwa sejarah disebut khabary atau akhbary, sebagaimana
halnya orang yang meriwayatkan hadits disebut muhaddits.
Pendapat lain
mengatakan bahwa khabar lebih umum daripada hadits, karena khabar mecakup
segala hal yang diriwayatkan baik yang datang dari nabi maupun dari selain
nabi, sedangkan hadits khusus dari yang diriwayatkan nabi saja.
4. Atsar (الأثر)
Atsar menurut bahasa berarti “bekas atau dampak dari
sesuatu”, sisa dari sesuatu, atau sesuatu yang diambil atau dinukil. Menurut
mayoritas (jumhur ulama), atsar secara istilah berarti sama dengan hadits. Oleh
karena itu, ahli hadits juga dinamakan dengan atsary. Namun sebagian
lain berpendapat :“Sesuatu yang disandarkan kepada para sahabat (mauquf),
dan tabi’in (maqtu’), baik berupa perkataan atau perbuatan.”[6]
Para
fuqoha memakai istilah “atsar” untuk perkataan-perkataan sahabat,
tabi’in, dan ulama salaf. Contohnya perkataan tabi’in, Ubaidilah Ibn Abdillah
ibn Utbah ibn Mas’ud : “Menurut sunnah, hendaklah imam bertakbir pada Hari
Raya Fitri dan Hari Raya Adha sebanyak sembilan kali ketika duduk di atas
mimbar sebelum berkhutbah.” (HR. Al-Baihaqi).
Jadi,
dalam pandangan fuqoha’ perkataan Ubaidillah di atas dimasukkan ke dalam
makna atsar, bukan sebagai khabar, apalagi sebagai hadits. Hal tersebut
disebabkan Ubaidillah adalah seorang Tabi’in.
5. Hadits Qudsi
Hadits
Qudsi disebut juga hadits Rabbani atau Illahi, yaitu :
ماأخبرالله نبيه
بالألهام أوبالمنام فأخبر النبي صلى الله عليه وسلم من ذلك المعنى بعبارة نفسه
“Sesuatu
yang dikabarkan Allah Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melalui ilham atau impian,
yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian tersebut dengan
ungkapan kata beliau sendiri.”
Hadits Qudsi itu
jumlahnya tidak banyak, hanya kurang lebih seratus hadits. Kitab yang
menghimpun Hadits Qudsi seperti : “Al- Kalimuth Thayyib” karya
Ibnu Taimiyah dan “Adabul Ahaditsul Qudsiyah” cetakan pertama
tahun 1969 M di Kairo karya Dr. Ahmad Asy-Syarbashy.
Biasanya Hadits
Qudsi ciri-cirinya menggunakan kalimat :
v (Allah berfirman)
v (Pada apa yan diriwayatkan dari Allah)
v Lafaz-lafaz yang semakna dengan apa yang tersebut di atas, setelah
selesai penyebutan rawi yang menjadi sumber (pertama) nya, yaitu sahabat.
B. Persamaan Serta Perbedaan Hadits, Sunnah, Khabar Dan Atsar
1. Persamaan Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
Sebagian
ulama berpendapat bahwa hadits, sunnah, khabar dan atsar adalah Murodif (Sinonim)
atau sama artinya. Maka istilah Khabar Mutawatir dipakai juga
untuk Hadits Mutawatir, Haditsun Nabawy untuk Sunnatun Nabawy dan
Ahli Hadits maupun Ahli Khabar juga disebut Ahli Atsar.
Dengan
demikian, segala yang bersumber atau datangnya dari Nabi Muhammad SAW, dapat
disebut dengan hadits, sunnah nabi, khabar nabai, dan atsar nabi.
2. Perbedaan Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar
Menurut
sebagian ulama, sunnah lebih luas cakupannya daripada hadits. Sunnah ada segala
yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, maupun pengajaran, sifat, kelakuan, dan perjalanan hidup nabi, baik
sebelum maupun sesudah menjadi nabi. selain itu titik berat sunnah adalah
kebiasaan normatif Nabi Muhammad SAW. Adapun khabar yang berarti berita atau
warta, selain dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW. dapat juga dinisbahkan
kepada sahabat dan tabi’in. Dengan demikian khabar lebih umum daripada hadits,
karena masuk di dalamnya semua riwayat yang bukan
dari Nabi Muhammad SAW. atsar berarti nukilan, lebih sering digunakan untuk sebutan bagi perkataan sahabat Nabi
Muhammad SAW., meskipun kadang-kadang dinisbahkan kepada beliau (nabi).
3. Perbedaan Antara Alqur’an, Hadits Qudsi, Dan Hadits Nabawi
Setelah memahami
pengertian al-Qur’an pada semester satu, hadits qudsi, dan hadits nabawi dari
segi bahasa dan makna, periwayatan, kemukjizatan, dan nilai membacanya.
a.
Perbedaan
dari segi bahasa dan makna adalah sebagai berikut :
v al-Qur’an diturunkan dengan bahasa dan maknanya langsung dari Allah
SWT.
v Hadits qudsi adalah hadits yang maknanya dari Allah SWT., sedangkan
bahasanya dari Nabi SAW.
v Hadits nabawi adalah bahasa dan maknanya dari nabi SAW
b.
Perbedaan
dari segi periwayatan adalah sebagai berikut ;
v Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja sebab sebab
mengurangi kemukjizatannya
v Hadits qudsi dan hadits nabawi boleh diriwayatkan dengan maksudnya
saja. Yang terpenting dalam hadits adalah penyampaian maksudnya.
c.
Perbedaan
dari segi kemukjizatannya adalah sebagai berikut :
v Al-Qur’an, baik lafal maupun maknanya merupakan mu’jizat
v Hadits qudsi dan hadits nabawi bukan merupakan mu’jizat
d.
Perbedaan
dari segi nilai membacanya adalah sebagai berikut :
v Al-Qur’an diperintahkan untuk dibaca, baik pada waktu shalat (surat
al-Fatihah) maupun di luar shalat sebagai ibadah, baik orang yang membacanya
itu mengerti maksudnya maupun tidak.
v Hadits qudsidan hadits nabawi dilarang dibaca ketika shalat dan
membacanya tidak bernilai ibadah.Yang terpenting dalam hadits adalah untuk
dipahami, dihayati, dan diamalkan.
C.
Proses Penerimaan Hadits Nabi Saw
Dalam istilah ilmu hadits, terdapat
istilah yang disebut dengan at-tahammul dan al-ada’. At-tahamul adalah menerima
dan mendengar suatu periwayatan hadist dari seorang guru dengan mengunakan
beberapa metode tertentu. Sedangkan al-ada’ adalah menyampaikan atau
meriwayatkan suatu hadits kepada orang lain.[7]
1. Penerimaan
Anak – Anak, Orang Kafir dan Orang Fasik
Para ulama hadits berbeda pendapat
mengenai penerimaan hadits terhadap anak yang belum sampai umur (belum
mukallaf) dianggap sah apabila periwayatan hadits tersebut disampaikan kepada
orang lain ketika ia ssudah mukallaf. Adapun alasannya anak yang belum dewasa
dapat dibenarkan menerima riwayat, ialah ijma'. Yakni seluruh umat Islam tidak
ada yang membantah dan tidak ada yang membeda-bedakan riwayat-riwayat para
sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa. Para sahabat yang menerima
hadist sebelum dewasa diantaranya Al-Hasan, Al-Husein, Ibnu 'Abbas, Nu'man bin
Basyir dan lainnya.[8]
Tetapi mereka memperselisihkan masalah
batas minimal umur anak yang belum dewasa, yang dapat dibenarkan dalam
penerimaan riwayat. Beberapa pendapat diantaranya :
Pertama, Al-Qadhi Iyad
mengatakan bahwa batas minimal adalah 5 tahun, sebab pada usia ini anak sudah
mampu menghafal apa yang dia ingat serta mengingat – ingat yang dihafal.
Pendapat ini didasarkan pada hadist riwayat Bukhari dari sahabat Mahmud bin
Al-Rubai' :
عَقَلْتُ مِنَ النَّبِي صلي الله عليه وسلم مَجَّةً مَجَّهَا فِي وجْهِي مِنْ دَلْوٍ و أنَاابْنُ خَمْسِ سِنِيْنَ
Artinya: "Saya
ingat Nabi Saw. Meludah air yang diambilnya dari timba kemukaku, sedang pada saat itu aku berumur lima tahun"
Kedua, pendapat Al-Hafidz
Musa ibn Harun al-Hammal, yaitu bahwa kegiatan mendengar yang dilakukan oleh
anak kecil dinilai tamyiz bila ia telah mampu membedakan antara al-baqar dengan
al-himar. Menurut Imam Ahmad, bahwa ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan
menghapal yang didengar dan mengingat yang dihapal.[9]
Ketiga, pendapat Abu Abdullah
Al-Zuba'i yang dikutip oleh Mundzier Suparta mengatakan bahwa sebaiknya anak
diperbolehkan menulis hadis pada usia 10 tahun. Sebab pada usia ini akal mereka
sudah dianggap sempurna dalam arti bahwa mereka sudah mempunyai kemampuan untuk
menghafal dan mengingat hafalannya serta sudah beranjak dewasa.
Mengenai penerimaan hadist oleh
orang kafir jumhur ulama ahli hadist menganggap sah. Dalil yang digunakan oleh
jumhur adalah hadist Jubair bin Muth'im :
أنَّهُ سَمِعَ النَّبِي صلي الله عليه وسلم يَقْرَأُ فِي المَغْرِبِ بِالطُّوْرِ
Artinya: "Bahwa
ia mendengar Nabi Muhammad membaca surat At-Thur pada shalat maghrib"
Jubair mendengar sabda Rasulullah saw. tersebut pada saat tiba di Madinah untuk penyelesaian urusan tawanan perang Badar, dalam keadaan kafir. Yang akhirnya ia memeluk Islam.
Imam Ibnu Hajar menerima riwayat
orang fasik dengan dalil qiyas "babul-aula". Artinya, kalau
penerimaan riwayat orang kafir yang disampaikan setelah memeluk agama Islam
dapat diterima, palagi penerimaan orang fasik yang disampaikan setelah ia
bertobat dan diakui sebagai orang yang adil, tentu lebih dapat diterima.
Kecuali riwayat orang gila yang diriwayatkan setelah sehat tetap tidak dapat
diterima, lantaran diwaktu ia gila, hilanglah kesadarannya, hingga tidak lagi
dikatakan sebagai orang yang dhabith.
Jadi, dapat dikatakan penerimaan
hadits bagi orang kafir dan orang fasik, jumhur ulama ahli hadits sepakat untuk
menganggap sah, asalkan hadits tersebut diriwayatkan kepada orang lain pada
saat mereka telah masuk Islam dan telah bertobat.
2. Macam –
Macam Cara Penerimaan Hadist
Para Ulama Hadist menggolongkan
metode menerima suatu periwayatan hadist menjadi beberapa metode diantaranya :
a. As – Sima'
Yaitu seorang guru membacakan sebuah
hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang hadirin mendengarkannya,
baik majlis itu untuk imla' ataupun untuk yang lain. Menurut mayoritas ulama,
metode ini berada pada peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat bahwa
mendengar hadits dari seorang guru yang disertai penulisannya lebih tinggi dari
pada mendengar saja. Sebab sang guru membacakan hadist, sang murid menulisnya.
Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat pada
kebenaran.[10]
Menurut Al-Qadhi 'Iyad, para ulama
tidak memperselisihkan kebolehan rawi dalam meriwayatkannya menggunakan kata –
kata :
Ø حَدَّثَنَا (seorang telah menceritakan kepada kami)
Ø أَخْبَرَنَا (seorang telah mengabarkan kepada kami)
Ø أَنْبَأَنَا (seorang telah memberitakan kepada kami)
Ø سَمِعْتُ
فُلاَنًا
(saya telah mendengan seseorang)
Ø قَالَ لَنَا
فُلاَنٌ
(seseorang telah berkata kepada kami)
Ø ذَكَرَ لَنَا
فُلاَنٌ
(seseorang telah menuturkan kepada kami).
b. Al-Qira'ah 'Ala Al-Syaikh atau 'Ardh Al-Qira'ah
Yakni suatu cara penerimaan hadits
dengan cara seseorang membacakan hadits dihadapan gurunya, baik dia sendiri
yang membacakan maupun orang lain, sedang sang guru mendengarkan atau
menyimaknya, baik sang guru hafal ataupun tidak tetapi dia memegang kitabnya
atau mengetahui tulisannya dan dia tergolong tsiqah.[11]
Tidak diragukan lagi bahwa cara
(metode) seperti ini adalah sah, sebab sang guru bisa mengoreksi langsung, bila
bacaan murid salah guru dapat membenarkannya secara langsung. Lafadz – lafadz
yang digunakan metode ini diantaranya :
v قَرَأْتُ
عَلَيْهِ
(aku telah membacakan dihadapannya)
v قُرِئَ عَلَي
فُلاَنٍ واَنَا اَسْمَعُ (dibacakan oleh seseorang dihadapannya (guru) sedang aku
mengdengarkannya)
v حَدَّثَنَا اَوْ
أَخْبَرَنَا قِرَأَةٌ عَلَيْهِ (telah mengabarkan/menceritakan secara
pembacaan dihadapannya).
c. Al-Ijazah
Yaitu pemberian izin kepada
seseorang kepada orang lain, untuk meriwayatkan hadits daripadanya,
kitab-kitabnya. Meriwayatkan dengan ijazah ini diperselisihkan oleh para
ulama'. kebanyakan para muhaddistin tidak memperkenankan meriwayatkan dengan
ijazah, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hazm yang dikutip oleh Mundzier
Suparta mengatakan bahwa meriwayatkan hadist dengan menggunakan ijazah ini
dianggap bid'ah dan tidak diperbolehkan. Sedang ulama yang memperbolehkan cara
ijazah syaratnya hendaknya sang guru benar-benar mengerti tentang apa yang
diijazahkan dan naskah muridnya menyamai dengan yang lain, sehingga seolah-oleh
naskah tersebut adalah aslinya serta hendaknya guru yang memberi ijazah itu
benar-benar ahli ilmu. Lafadz yang sering digunakan adalah:
أَجَزْتُ لَكَ اَنْ تَرْوِي عَنِّي (saya ijazahkan kepada kamu untuk meriwayatkan dariku).[12]
d. Al-Munawalah
Maksudnya, seorang ahli hadits
memberikan sebuah hadits, beberapa hadits atau sebuah kitab kepada muridnya.
Misalnya seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata :
Inilah hadits-hadits yang sudah saya dengar dari seseorang, maka riwayatkanlah
hadist itu dariku. Metode ini mempunyai dua tipe:[13]
Pertama, dengan dibarengi
ijazah. Misalnya, setelah sang guru menyerahkan kitab asli atau salinannya,
lalu mengatakan : "Riwayatkanlah dari saya ini". Periwayatan tersebut
diperkenankan dan bahkan ada yang berpendapat kebolehannya itu secara ijma',
karena tidak ragu lagi kewajiban untuk mengamalkannya. Lafadznya diantaranya :
هَذَا سَمَا عِي أَوْرِوَايَتِي عَنْ فُلاَنٍ فَارْوِهِ (ini adalah pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, riwayatkanlah!)
Kedua, Tanpa dibarengi ijazah. Yakni
ketika naskah asli atau turunnya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan
bahwa itu adalah apa yang didengar si fulan, tanpa diikuti dengan suatu
perintah untuk mengamalkannya. Lafadznya diantaranya :هَذَا
سَمَا عِي أَوْ مِنْ رِوَايَتِي
(inilah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku)
e. Mukatabah
Yaitu seorang guru menulis dengan
tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis dirinya sebagai haditsnya
untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang berada ditempat lain
lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang yang bisa
dipercaya mukhatabah ini memiliki dua bagian:[14]
Pertama, disertai ijazah. Misalnya
guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah
kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam
keshahihan dan kekuatan. Lafadznya : أَجَزْتُ لَكَ مَا
كَتَبْتُهُ اِلَيْكَ (kuizinkan
apa-apa yang kutulis padamu)
Kedua, tanpa disertai ijazah. Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan hadist darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkan, sebab pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama mutaqaddimin dan muta'akhkhirin. Lafadznya : قَالَ حَدَّثَنَا فُلاَنٌ (telah memberitahukan seseorang padaku).
Kedua, tanpa disertai ijazah. Ada sekelompok ulama yang melarang meriwayatkan hadist darinya. Namun pendapat yang shahih memperbolehkan, sebab pendapat ini dipilih oleh mayoritas ulama mutaqaddimin dan muta'akhkhirin. Lafadznya : قَالَ حَدَّثَنَا فُلاَنٌ (telah memberitahukan seseorang padaku).
f. Wijadah
Yakni seseorang memperoleh hadits
orang lain dengan mempelajari kitab-kitab hadits dengan tidak melalui cara
as-sima’, al-ajazah, atau al-munawalah. As-Syafi'e memperbolehkan beramal
dengan hadits yang periwayatannya melalui cara ini. Lafadznya diantaranya :[15]
v قَراْتُ بخَطِّ
فَلانٍ
(saya telah membaca khat seseorang)
v وَجَدْتُ بخَطِّ
فَلانٍ
(kudapati khat seseorang).
g. Washiyah
Yakni seorang guru, ketika akan
meninggal atau bepergian meninggalkan pesan atau orang lain untuk meriwayatkan
hadist atau kitabnya, setelah sang guru meninggal atau bepergian. Menurut
jumhur cara ini lemah, sementara Ibnu Sirin memeperbolehkan mengamalkan hadist
yang diriwayatkan. Lafadznya : اَوْصَي اليَّ فُلاَنٌ
بكِتَابٍ قَال فِيه حَدَّثَنا الي آخره
(seorang telah berwasiat dengan sebuah kitab, dan berkata sifulan). [16]
h. I'lam
Yakni pemberitahuan seorang guru
kepada muridnya, bahwa kitab atau hadist yang diriwayatkannya diterima dari
seorang guru, dengan tanpa memberikan izin kepada muridnya untuk
meriwayatkannya.
Hadist dengan cara ini tidak sah, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru mengetahui bahwa dalam hadist tersebut ada cacatnya.[17] Lafadznya:
اَعْلمَنِي فُلانٌ قال حدثنا (seseorang telah memberitahukan kepadaku, telah berkata kepada kami).[18]
Hadist dengan cara ini tidak sah, karena adanya kemungkinan bahwa sang guru mengetahui bahwa dalam hadist tersebut ada cacatnya.[17] Lafadznya:
اَعْلمَنِي فُلانٌ قال حدثنا (seseorang telah memberitahukan kepadaku, telah berkata kepada kami).[18]
D. Periwayatan
Hadits bi al-Lafẓiy dan bi al-Ma’na
Ada dua tata cara dalam proses transmisi
redaksi hadits, yakni periwayatan yang dilakukan secara lafal dan periwayatan
secara makna.[19]
1.
Definisi Periwayatan Hadits bi al-Lafẓiy
Periwayatan hadis dengan lafal
adalah cara periwayatan hadits yang disampaikan sesuai dengan lafal yang disabdakan
oleh Nabi saw. secara persis tanpa ada perubahan sedikitpun pada tatanan
kalimatnya. Atau dengan kata lain, meriwayatkan hadis dengan lafal yang masih
asli dari Nabi saw. Riwayat hadis dengan lafal ini sebenarnya tidak ada
persoalan, karena sahabat menerima langsung dari Nabi baik melalui perkataan
maupun perbuatan, dan pada saat itu sahabat langsung menulis atau menghafalnya.[20]
Sahabat yang terkenal ketat dalam
menjaga otentisitas redaksi hadis adalah Abdullah bin Umar. Ia tidak
memperkenankan adanya pengurangan atau penambahan satu huruf pun dari redaksi
hadis. Dalam sebuah kasus, ia pernah menegur ‘Ubaid bin Amir ketika meletakkan
puasa dalam lima prinsip Islam pada urutan nomor tiga yang seharusnya ada pada
urutan nomor empat sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi saw.
Tingkat kepedulian para sahabat
dalam menjaga otentisitas hadis ini tergambar jelas ketika mereka tidak gegabah
dalam meriwayatkan hadis sebelum mereka yakin betul kebenaran lafal dan
ketepatan huruf serta memahami maknanya. Jika mereka menemukan keraguan untuk
meriwayatkan sebuah hadis, mereka memilih diam. Hal demikian dilakukan karena
mengingat peringatan keras Nabi saw yang akan memasukkan mereka pada golongan
pendusta hadis.
Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal, dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Sikap demikian tidak hanya terjadi di tingkatan pada sahabat tetapi dapat ditemui pula dari pendapat segolongan ulama fiqh, ulama ushul dan ulama hadis yang tidak memberikan ruang sedikitpun pada periwayatan hadis secara makna. Mereka mewajibkan periwayatan hadis dengan lafal, dan tidak memperbolehkan periwayatan dengan makna sama sekali.
Akan tetapi dalam kenyataannya
periwayatan hadis dengan lafal ini sangat sedikit jumlahnya. Ciri-ciri hadis
yang memang harus diriwayatkan dengan lafal ini hanya terbatas pada antara
lain:
a) Hadis yang merupakan lafal-lafal ibadah (ta’abbudiyyah), seperti
tentang bacaan azan, zikir, doa, syahadat, dan lain sebagainya.
Hadis yang bisa
dijadikan contoh untuk lafal ibadah ini seperti bacaan dzikir yang diriwayatkan
dari Shaddad bin Aus ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
سيد الاستغفار:
اللهم أنت ربي، لا إله إلا أنت، خلقتني وأنا عبدك، وأنا على عهدك ووعدك ما استطعت،
أبوء لك بنعمتكّ عليّ، وأبوء لك بذنبي فاغفر لي، فإنه لا يغفر الذنوب إلا أنت،
أعوذ بك من شر ما صنعت. إذا قال حين يمسي فمات دخل الجنة، أو كان من أهل الجنة،
وإذا قال حين يصبح فمات من يومه مثله.
“Paling tingginya
ucapan istighfar adalah: ‘Ya Allah Engkaulah Tuhanku, tiada Tuhan selain
Engkau, Engkau menciptakanku maka aku adalah hamba-Mu. Dan atas janji dan
ancaman-Mu aku lakukan semampuku. Aku akui segala nikmat-Mu bagiku, dan ku akui
segala dosa ini pada-Mu maka ampunilah aku karena tiada yang bisa mengampuni
segala dosaku selain Engkau. Aku berlindung pada-Mu dari keburukan apa yang aku
lakukan’. Jika ini dibaca pada waktu sore kemudian ia mati maka ia langsung
masuk surga atau ia termasuk dari penduduk surga, demikian juga jika dibaca
pada waktu pagi. ”
b) Jawāmi’ al-kalimah (ungkapan-ungkapan Nabi saw yang sarat makna)
karena Nabi saw memiliki faṣaḥaḥ dalam perkataan yang tidak dimiliki yang
lainnya. Bisa diambil contoh seperti sabda Nabi saw tentang umat Islam. Dari
Abū Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده . والمهاجر من هجر ما نهى الله عنه
“Orang Islam itu
adalah orang yang orang-orang Islam lainnya selamat dari lidah dan tangannya.”
c) Hadis yang berkaitan dengan masalah aqidah seperti tentang dzat
dan sifat Allah, rukun Islam, rukun iman, dan sebagainya. Untuk kategori ini
penulis mengambil contoh hadis tentang sifat Allah swt, seperti;
يقبض الله الأرض
يوم القيامة، ويطوي السماء بيمينه، ثم يقول: أنا الملك، أين ملوك الأرض؟
“Pada hari kiamat
Allah menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kanan-Nya. Kemudian Dia
berfirman; ‘Akulah yang Raja Diraja, dimanakah para raja dunia itu?”
Namun ketika dihadapkan pada
persoalan bahwa hadis bukan hanya berbentuk perkataan saja tetapi juga dengan
perbuatan dan ketetapan Nabi saw, para ulama yang bersikeras mempertahankan
riwayat hadis secara lafal, seperti Abu Bakar al-Arabi, Muhammad bin Sirin,
Raja’ bin Haywah, Qasim bin Muhammad, dan Sa’lab bin Nahwiy, mereka berpendapat
bahwa periwayatan redaksi hadisnya secara makna sepenuhnya hanya diperbolehkan
pada tingkatan sahabat, mengingat karena para sahabat memiliki pengetahuan
bahasa Arab yang tinggi (faṣaḥaḥ), meskipun tidak setingkat dengan susunan
kalimat Nabi saw. dan mereka telah menyaksikan secara langsung keadaan dan
perbuatan Nabi saw.
Menurut penulis, periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.
Menurut penulis, periwayatan secara lafal tidak mungkin seluruh hadis bisa dilaksanakan mengingat pengertian hadis itu sendiri merupakan segala sesuatu yang disandarkan pada Nabi saw, baik perkataan, perbuatan, penetapan, tekad dan cita-cita Nabi saw, yang tidak semua dalam bentuk perkataan sehingga keharusan periwayatan hadis harus dengan lafal itu tidak bisa terjadi. Tentunya hal ini tetap dalam batasan-batasan yang telah diungkapkan oleh para ulama di atas, yaitu tidak boleh masuk pada ranah hadis yang berbau aqidah, ibadah dan yang mengandung kalimat-kalimat yang sarat makna dari Nabi saw.
2. Definisi Periwayatan Hadis bi al-Ma’na
Dalam sejarah perjalanan hadis
diketahui bahwa sepeninggal Rasulullah saw. periwayatan hadis itu diperketat
agar tidak terjadi periwayatan yang bukan dari Nabi saw. tetapi mereka
menyandarkannya pada Nabi saw demi kepentingan diri atau kelompok mereka.
Yaitu, dengan mengharuskan para perawi menyampaikan hadis apa adanya, tanpa ada
penambahan atau pengurangan sedikitpun, sehingga redaksi hadis tidak mengalami
perubahan sama sekali.
Tetapi dalam kenyataannya, banyak dijumpai hadis yang memiliki makna sama tapi diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita bisa menjumpai komentar hadis “muttafaq ‘alayh, wa al-lafẓ li Muslīm, atau wa al-lafẓ li al-Bukhārīy”. Dengan demikian, tampak sangat jelas bahwa periwayatan hadis secara makna itu ada dan diperbolehkan.[21]
Tetapi dalam kenyataannya, banyak dijumpai hadis yang memiliki makna sama tapi diungkapkan dengan redaksi yang berbeda-beda. Karena itu, kita bisa menjumpai komentar hadis “muttafaq ‘alayh, wa al-lafẓ li Muslīm, atau wa al-lafẓ li al-Bukhārīy”. Dengan demikian, tampak sangat jelas bahwa periwayatan hadis secara makna itu ada dan diperbolehkan.[21]
Bisa didefinisikan bahwa periwayatan
hadis dengan makna adalah periwayatan hadis dengan maknanya saja sedangkan
redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkan. Atau dengan kata lain,
apa yang diungkapkan oleh Rasulullah saw hanya dipahami maksudnya saja, lalu
disampaikan oleh para sahabat dengan lafal atau susunan redaksi mereka sendiri.
Hal ini dikarenakan para sahabat memiliki kualitas daya ingatan yang beragam,
ada yang kuat dan ada pula yang lemah. Di samping itu, kemungkinan masanya
sudah lama sehingga yang masih diingat hanya maksudnya sementara apa yang
diucapkan Nabi sudah tidak diingatnya lagi.
Menukil atau meriwayatkan hadis
secara makna ini hanya diperbolehkan ketika hadis-hadis belum terkodifikasi.
Adapun hadis-hadis yang sudah terhimpun dan dibukukan dalam kitab-kitab
tertentu (seperti sekarang), tidak diperbolehkan merubahnya dengan lafal/matan
yang lain meskipun maknanya tetap tanpa ada perubahan.
Untuk memperjelas adanya hadis yang diriwayatkan secara makna penulis akan memberikan gambaran contoh sebagai berikut;
Untuk memperjelas adanya hadis yang diriwayatkan secara makna penulis akan memberikan gambaran contoh sebagai berikut;
لا يجد احد حلاوة الايمان حتى يحب المرء لا يحبه الا لله و حتى ان يقذف فى
النار احب اليه من ان يرجع الى الكفر بعد إن انقذه الله وحتى يكون الله ورسوله احب
اليه مما سواهما.
“Tidaklah seseorang akan mendapatkan
manisnya iman sampai ia mencintai seseorang hanya karena Allah, lebih senang
dilempar ke dalam neraka daripada kembali pada kekufuran sesudah ia
diselamatkan oleh Allah, dan Allah dan rasul-Nya lebih dicintai daripada
lainnya”.
ثلاث من كن فيه وجد حلاوة الإيمان: أن يكون الله ورسوله أحب إليه مما سواهما، وأن يحب المرء لا يحبه إلا لله، وأن يكره أن يعود في الكفر كما يكره أن يقذف في النار.
“Tiga hal yang membuat seseorang
akan merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih dicintai dari
lainnya, ia mencintai seseorang karena Allah dan membenci kembali kepada
kekufuran sebagaimana ia membenci untuk dicampakkan ke dalam neraka”.
Hadis di atas sama-sama menerangkan
tema tentang iman, namun keduanya diungkapkan dengan redaksi yang berbeda, baik
dalam penggunaan lafal maupun susunannya.
3. Sikap Para Sahabat dan Jumhur Ulama terhadap Periwayatan Hadis bi al- Ma’na
Para sahabat yang banyak menerima
hadis dengan redaksi yang beragam, antara lain, adalah ‘Alī bin Abī Ṭālib, Ibnu
Abbās, Anas bin Mālik, Abū Hurairah, ‘Amr bin ‘Ash, ‘Ikrāmah, dan lain
sebagainya. Secara tidak langsung mereka memperbolehkan meriwayatkan hadis
secara makna.
Jumhur ulama pun sebenarnya telah
sepakat memperbolehkan seseorang mendatangkan atau meriwayatkan hadis dengan
maknanya saja tidak harus dengan lafal aslinya, tetapi dengan syarat ia
termasuk orang yang berilmu sangat dalam mengenai Bahasa Arab, mengetahui
sistem penyampaian dan penyusunan kalimatnya, dan berpandangan luas tentang
fiqh beserta istilah-istilah hukum di dalamnya sehingga akan tetap terjaga dari
pemahaman yang berlainan dan hilangnya kandungan hukum dari hadis tersebut.
Kalau tidak demikian maka tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis hanya dengan
maknanya saja dan wajib menyampaikan dengan lafal yang ia dengan dari gurunya.[22]
Imam Shāfi’iy menerangkan tentang
sifat-sifat perawi; “Hendaknya orang yang menyampaikan hadis itu seorang
yang kepercayaan tentang agamanya lagi terkenal bersifat benar dalam
pembicaraannya, memahami apa yang diriwayatkan, mengetahui hal-hal yang memalingkan
makna dari lafal dan hendaklah dia dari orang yang menyampaikan hadis persis
sebagaimana yang didengar, bukan diriwayatkan dengan makna, karena apabila
diriwayatkan dengan makna sedang dia seorang yang tidak mengetahui hal-hal yang
memalingkan makna niscaya tidaklah dapat kita mengetahui boleh jadi ia
memalingkan yang halal kepada yang haram. Tetapi apabila ia menyampaikan hadis
secara yang didengarnya, tidak lagi kita khawatir bahwa dia memalingkan hadis
kepada yang bukan maknanya. Dan hendaklah ia benar-benar memelihara kitabnya
jika dia meriwayatan dengan hadis itu dari kitabnya.”
Dari penjelasan ini nyatalah bahwa
orang yang mengetahui hal-hal yang memalingkan makna dari lafal, boleh
meriwayatkan dengan makna apabila dia tidak ingat lagi lafal yang asli, karena
dia telah menerima hadis, lafal dan maknanya.
Bahkan, Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya jika susunan lafalnya tidak bisa diingat lagi, sebab jika hadis tersebut tidak tersampaikan meski dengan maknanya, maka ia termasuk orang yang menyembunyikan sumber hukum Islam, yaitu hadis itu sendiri.
Dalam kesempatan lain Al-Māwardiy juga berpendapat; “Jika seseorang tidak lupa kepada lafal hadis niscaya tidak boleh dia menyebutkan hadis itu dengan bukan lafalnya, karena di dalam ucapan-ucapan nabi sendiri terdapat faṣaḥaḥ yang tidak terdapat pada perawinya.”
Bahkan, Imam Mawardi mewajibkan menyampaikan hadis dengan maknanya jika susunan lafalnya tidak bisa diingat lagi, sebab jika hadis tersebut tidak tersampaikan meski dengan maknanya, maka ia termasuk orang yang menyembunyikan sumber hukum Islam, yaitu hadis itu sendiri.
Dalam kesempatan lain Al-Māwardiy juga berpendapat; “Jika seseorang tidak lupa kepada lafal hadis niscaya tidak boleh dia menyebutkan hadis itu dengan bukan lafalnya, karena di dalam ucapan-ucapan nabi sendiri terdapat faṣaḥaḥ yang tidak terdapat pada perawinya.”
Pendapat lain diungkapkan oleh Ibnu
Sirin , “Aku telah mendengarkan hadis dari sepuluh perawi yang mengandung makna
sama tapi diungkapkan berbeda-beda.”
Dengan pengakuan di atas menunjukkan bahwa periwayatan hadis dengan makna sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam. Gambaran kondisi ini juga yang memperkuat pendapat jumhur ulama tentang pembolehan meriwayatkan hadis dengan makna, termasuk di dalamnya imam mazhab yang empat.
Hadis Rasulullah saw menjadi landasan untuk memperkuat pendapat para ulama yang memperbolehkan meriwayatkan hadis secara makna. Hadis riwayat al-Baihaqiy dari Abdullah bin al-Ukaymah al-Laith, Nabi saw bersabda;
Dengan pengakuan di atas menunjukkan bahwa periwayatan hadis dengan makna sudah tidak asing lagi di kalangan umat Islam. Gambaran kondisi ini juga yang memperkuat pendapat jumhur ulama tentang pembolehan meriwayatkan hadis dengan makna, termasuk di dalamnya imam mazhab yang empat.
Hadis Rasulullah saw menjadi landasan untuk memperkuat pendapat para ulama yang memperbolehkan meriwayatkan hadis secara makna. Hadis riwayat al-Baihaqiy dari Abdullah bin al-Ukaymah al-Laith, Nabi saw bersabda;
إذا لم تحلوا حراما ولا تحرموا حلالا فلا بأس
“Jika kalian tidak merubah yang
halal menjadi haram dan yang haram menjadi halal maka itu tidak apa-apa”
Untuk menjaga sikap kehati-hatiannya
dalam setiap meriwayatkan hadis para sahabat, tabi’in dan para ahli hadis
setelah mereka sudah mentradisikan ungkapan khusus sebagai tanda bahwa hadis
yang diriwayatkannya dilakukan secara makna, terutama mengenai keadaan
peperangan atau peristiwa tertentu, setelah meriwayatkan hadis mereka
mengatakan “aw kamā qāla” (atau seperti yang disabdakan Nabi saw), “aw qarīban
minhu” (atau yang mendekati), “aw nahwa hādha” (atau riwayat sejenis ini), atau
“aw shibhahu” (atau riwayat yang serupa). Praktek seperti ini sering dilakukan
oleh Abdullah Ibnu Mas’ūd, Abu Darda’, Anas bin Malik, dan lain-lain. Maka sepatutnya
kiranya kita mengikuti jejak mereka dalam setiap selesai mengutarakan sebuah
hadis sebagai sikap kehati-hatian kita atau memang ada keraguan dalam
membacakan susunan kalimatnya.
Selajutnya, ulama hadis mempersoalkan tentang boleh tidaknya perawi hadis meringkas atau memenggal matan hadis. Ada yang melarangnya, ada yang membolehkannya tanpa syarat dan ada yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Pendapat yang terakhir ini banyak diikuti oleh ulama hadis, syarat yang dimaksud adalah:[23]
Selajutnya, ulama hadis mempersoalkan tentang boleh tidaknya perawi hadis meringkas atau memenggal matan hadis. Ada yang melarangnya, ada yang membolehkannya tanpa syarat dan ada yang membolehkannya dengan syarat-syarat tertentu. Pendapat yang terakhir ini banyak diikuti oleh ulama hadis, syarat yang dimaksud adalah:[23]
d) yang melakukan ringkasan bukanlah periwayat hadis yang
bersangkutan.
e) apabila peringkasan dilakukan oleh periwayat hadis, maka harus
ada hadis yang dikemukakan secara sempurna.
f) tidak terpenggal kalimat yang mengandung kata pengecualian
(al-istithnā’), syarat, penghinggaan (al-ghāyah) dan yang semacamnya.
g) peringkasan tidak merusak petunjuk dan penjelasan yang
terkandung dalam hadis yang bersangkutan.
h) yang melakukan peringkasan haruslah orang yang benar-benar telah
mengetahui kandungan hadis yang bersangkutan.
Menurut penulis, ulama berbeda
pendapat tentang periwayatan hadis dengan cara meringkas atau memenggal matan
tersebut. Sesungguhnya berpangkal dari perbedaan tentang boleh-tidaknya
periwayatan secara makna. Pendapat yang cukup realistik dan hati-hati adalah
pendapat yang membolehkannya dengan catatan harus dipenuhi syarat-syarat
tertentu.
D. Syarat
Periwayatan Hadits
Adapun orang yang menyampaikan (adā’
al-hadīth) hadis harus memenuhi syarat sebagai berikut:[24]
a. Islam. Hadis yang diriwayatkan oleh non Islam tidak dapat
diterima.
b. Baligh dan berakal sehat. Hadis yang diriwayatkan oleh orang
yang tidak mukallaf tidak dapat diterima.
c. Al-’adalah. Yang dimaksud dengan persyaratan ini adala sifat
yang melekat pada seorang periwayat hadis sehingga ia selalu setia terhadap
Islam. Orang ini tidak mau melakukan dosa besar, dan selalu menjaga diri
sedapat mungkin tidak melakukan dosa kecil.
d. Al-dhabtu (dabit). Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat,
bak ketika menerima pelajaran hadits maupun menyampaikannya. Sudah barang
tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan yang kuat, pintar, dan tidak pelupa.
Menurut analisa penulis, kriteria di
atas merupakan penentu diterima tidaknya riwayat hadis yang mereka sampaikan.
Salah satu syarat tidak terpenuhi maka gugurlah ia sebagai perawi hadis.
Meskipun kegiatan menerima hadis di kalangan anak-anak masih diperbolehkan
tetapi dalam menyampaikan atau meriwayatkan hadis mereka belum bisa diterima.
Dengan kata lain, boleh menerima hadis di waktu belum baligh dan
diriwayatkannya pada waktu sudah baligh dan riwayat hadisnya bisa diterima. Hal
ini memiliki relevansi dengan periwatan hadis yang dilakukan oleh seseorang
yang di waktu menerima atau mendengar hadis ia belum masuk Islam dan
menyampaikannya ketika sudah masuk Islam, maka hadisnya pun juga bisa diterima.
[19] http://icalfarrijilqulub.blog.com/2011/01/11/metodologi-periwayatan-hadis/, diakses
tanggal 22 Maret 2012.