A.Prinsip-prinsip Hukum Fiqih Muamalah
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan
warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi.
Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai
akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia
dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan
ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat
sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu,
konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen
terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara prinsip dasar fiqh muamalah
adalah sebagai berikut :[1]
1. Prinsip Dasar
a. Hukum Asal
dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).
Ulama fiqih sepakat bahwa
hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali
terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan
bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang
secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah
dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan
nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak
terdapat syariat dari-Nya.
Allah berfirman:
“Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah
kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.
Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu
mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59). Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan
dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu
mengakomodir transaksi modern yang berkembang.
b. Konsep Fiqih
Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan
Fiqih muamalah akan
senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan
perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan
tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud
memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. [2]
c. Menetapkan
Harga yang Kompetitif
Masyarakat sangat
membutuhkan barang produksi, tidak peduli ia seorang yang kaya atau miskin,
mereka menginginkan konsumsi barang kebutuhan dengan harga yang lebih rendah.
Harga yang lebih rendah (kompetitif) tidak mungkin dapat diperoleh kecuali
dengan menurunkan biaya produksi. Untuk itu, harus dilakukan pemangkasan biaya
produksi yang tidak begitu krusial, serta biaya-biaya overhead lainnya.
Islam melaknat praktik
penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga
barang yang ditanggung oleh konsumen. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang
men-supply barang akan diberi rizki, dan orang yang menimbunnya akan mendapat
laknat” dalam hadits lain Rasul bersabda: “Sejelek-jelek hamba adalah
seorang penimbun, yakni jika Allah (mekanisme pasar) menurunkan harga, maka ia
akan bersedih, dan jika menaikkannya, maka ia akan bahagia” .
Di samping itu, Islam juga
tidak begitu suka (makruh) dengan praktik makelar (simsar), dan lebih
mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran) secara langsung antara produsen
dan konsumen, tanpa menggunakan jasa perantara. Karena upah untuk makelar, pada
akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Untuk itu Rasulullah melarang
transaksi jual beli hadir lilbad , yakni transaksi yang menggunakan jasa
makelar.
Imam Bukhari memberikan
komentar bahwa praktik ini akan dapat memicu kenaikan harga yang hanya akan
memberatkan konsumen. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Janganlah
kalian melakukan jual beli talaqqi rukban ” yakni, janganlah kalian menjemput
produsen yang sedang berjalan ke pasar di pinggiran kota, kalian membeli barang
mereka dan menjualnya kembali di pasaran dengan harga yang lebih tinggi.”
d. Meninggalkan
Intervensi yang Dilarang
Islam memberikan tuntunan
kepada kaum muslimin untuk mengimani konsepsi qadla’ dan qadar Allah (segala
ketentuan dan takdir). Apa yang telah Allah tetapkan untuk seorang hamba tidak
akan pernah tertukar dengan bagian hamba lain, dan rizki seorang hamba tidak
akan pernah berpindah tangan kepada orang lain. Perlu disadari bahwa
nilai-nilai solidaritas sosial ataupun ikatan persaudaraan dengan orang lain
lebih penting daripada sekedar nilai materi. Untuk itu, Rasulullah melarang
untuk menumpangi transaksi yang sedang dilakukan orang lain, kita tidak
diperbolehkan untuk intervensi terhadap akad atau pun jual beli yang sedang
dilakukan oleh orang lain. Rasulullah bersabda: “Seseorang tidak boleh
melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya” .
e. Menghindari
Eksploitasi
Islam mengajarkan kepada
pemeluknya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, dimana Rasulullah
bersabda: “Sesama orang muslim adalah saudara, tidak mendzalimi satu sama
lainnya, barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi
kebutuhannya, dan barang siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya,
maka Allah akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti” .
Semangat hadits ini
memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi sesama saudara muslim yang
sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara menaikkan harga atau syarat tambahan
yang memberatkan. Kita tidak boleh memanfaatkan keadaan orang lain demi
kepentingan pribadi. Untuk itu, Rasulullah melarang melakukan transaksi dengan
orang yang sedang sangat membutuhkan (darurat) , Allah berfirman: “dan
janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangan”
(QS. Al A’raf:85).
f.
Memberikan Kelenturan dan Toleransi
Toleransi merupakan
karakteristik dari ajaran Islam yang ingin direalisasikan dalam setiap dimensi
kehidupan. Nilai toleransi ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan politik,
ekonomi atau hubungan kemasyarakatan lainnya. Khusus dalam transaksi finansial,
nilai ini bisa diwujudkan dengan memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus
memberatkan pihak yang terkait. Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang
yang mempermudah dalam transaksi jual beli.
Selain itu, kelenturan dan
toleransi itu bisa diberikan kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan
finansial, karena bisnis yang dijalankan sedang mengalami resesi. Melakukan
re-scheduling piutang yang telah jatuh tempo, disesuaikan dengan kemapanan
finansial yang diproyeksikan. Di samping itu, tetap membuka peluang bagi para
pembeli yang ingin membatalkan transaksi jual beli, karena terdapat indikasi
ke-tidak-butuh-annya terhadap obyek transaksi (inferior product).
g. Jujur dan
Amanah
Kejujuran merupakan bekal
utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah mengucapkannya,
sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang bisa meraup
keuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan dalam bertransaksi. Sementara,
orang yang jujur harus menahan dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak
semestinya. Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap
langkah kehidupan.
Kejujuran tidak akan
pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan yang kuat.
Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu dalam kontrol dan pengawasan
Allah SWT. Dengan kata lain, hanyalah orang-orang beriman yang akan memiliki
nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah memberikan apresiasi khusus bagi orang
yang jujur, “Seorang pedagang yang amanah dan jujur akan disertakan bersama para
Nabi, siddiqin (orang jujur) dan syuhada” .
Satu hal yang bisa
menafikan semangat kejujuran dan amanah adalah penipuan. Dalam konteks bisnis,
bentuk penipuan ini bisa diwujudkan dengan melakukan manipulasi harga, memasang
harga tidak sesuai dengan kriteria yang sebenarnya. Menyembunyikan cacat yang
bisa mengurangi nilai obyek transaksi. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda,
“Tidak dihalalkan bagi pribadi muslim menjual barang yang diketahui terdapat
cacatnya, tanpa ia memberikan informasinya” .
Sebenarnya, masih terdapat
beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di
antaranya, menjauhi adanya gharar dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty)
yang dapat memicu perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua
kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil,
terutama yang terkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi
menimbulkan konflik.
Ketika kontrak bisnis
telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus melakukan kewajiban yang
merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari
terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang
tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 1. Dan
yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus dilakukan secara
profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah
menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya” .[3]
2. Prinsip umum
a. Ta’awun (tolong-menolong)
b. Niat / itikad baik
c. Al-muawanah / kemitraan
d. Adanya kepastian hukum.
Setelah mengenal prinsip-prinsip
dalam fiqh muamalat, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam interaksi
ekonomi. Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim
akan berinteraksi ekonomi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa
transaksi yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan
MAGHRIB, yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba,
dan Bathil.[4]
a.
Maisir
Maisir sering dikenal dengan
perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang bisa untung atau bisa rugi.
b.
Gharar
Setiap transaksi yang masih belum
jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan
termasuk jual beli gharar. Boleh dikatakan bahwa
konsep gharar berkisar kepada makna ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu
transaksi yang dilaksanakan, secara umum dapat dipahami sebagai berikut :
1)
Sesuatu barangan yang ditransaksikan
itu wujud atau tidak;
2)
Sesuatu barangan yang ditransaksikan
itu mampu diserahkan atau tidak;
3)
Transaksi itu dilaksanakan secara
yang tidak jelas atau akad dan kontraknya tidak jelas, baik dari waktu
bayarnya, cara bayarnya, dan lain-lain.
Misalnya membeli burung
di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan
induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar.
c.
Haram
Ketika objek yang diperjualbelikan
ini adalah haram, maka transaksi nya mnejadi tidak sah. Misalnya jual beli
khamr, dan lain-lain.
d.
Riba
Riba, yaitu penambahan pendapatan
secara tidak sah antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak
sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan.
e.
Bathil
Dalam melakukan transaksi, prinsip
yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang
terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi
ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat
dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan,
ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan.
Atau hal-hal kecil seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak
bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam bermuamalat.[5]
Secara global ruang lingkup pembahasan
fikih muamalah, adalah sebagai berikut:[6]
1.
Hukum
benda: konsep harta, konsep hak, dan konsep tentang hak milik
2.
Konsep
umum akad: pengertian akad, unsur-unsur akad, macam-macam akad.
3.
Aneka
macam akad transaksi muamalah: jual-beli, sewa-menyewa, utung-piutang, dan
lain-lain.
B. Asas-asas Hukum Fiqih Muamalah
Pengaturan
transaksi kegiatan perekonomian yang berbasis syariat islam dilaksanakan dengan
memenuhi asas-asas dalam perjanjian islam ataupun fiqih muamalah, diantaranya
sebagai berikut:[7]
1. Asas
Al-Huriyah (kebebasan)
Dengan
memperlakukan asas kebebasan dalam kegiatan perekonomian termasuk pengaturan
dalam hukum perjanjian. Para pihak yang melaksanakan akaddidasarkan pada
kebebasan dalam membuat perjanjian baik objek perjanjian maupun persyaratan
lainnya.
2. Asas Al-Musawah
(persamaan dan kesetaraan)
Perlakuan
asas ini adalah memberikan landasan bagi kedua belah pihak yang melakukan
perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya.
3. Asas
Al-Adalah (keadilan)
Pelaksaan
asas keadilan dalam akad manakala para pihak yang melakukan akad dituntut untuk
berlaku benar dalam mengungkapkan kepentingan-kepentingan sesuai dengan keadaan
dalam memenuhi semua kewajiban.
4. Asas
Al-Ridho (kerelaan)
Pemberlakuan
asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar
kerelaan antara masing-masing pihak
5. Asas
Ash-Shidiq (kejujuran)
Kejujuran
merupakan nilai etika yang mendasar dalam islam. Islam adalah nama lain dari
kebenaran. Nilai kebenaran memberi pengaruh terhadap pihak yang melakukan
perjanjian yang telah dibuat.
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia
(muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat
tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya
sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi
ekonomi Syariah adalah:
1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya
penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
2. Adanya barang (maal)
atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.
3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan
menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul). Disamping itu
harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi
pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan
transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau
tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.
Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan
jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang.
C. Kaidah-Kaidah Fiqih Muamalah
1.
الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا
“Hukum asal semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan
kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”
Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam
setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa
menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah), perwakilan, dan
lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan
kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.[8]
2.
الأَصْلُ فِي العَقْدِ
رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ
“Hukum asal
dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya
adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”
Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan
prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada
keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah suatu akad apabila salah satu
pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa
terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak
merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akd tersebut bisa batal.
Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual
karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan yang
lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:
الأَصْلُ فِي العُقُودْ
رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ
“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
3.
لاَ يَجُورُ
لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ
“Tiada seorang punboleh melakukan tindakan hukum atas
milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”
Atas dasar kaidah ini, maka si penjual
haruslah pemilik barang yang di jual atau wakil dari pemilik barang atau yang
yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang
dijual.[9]
4.
البَا طِلُ
لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ
“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”
Akad yang batal dalam hukum islam
dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal
tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, bank
syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang
menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain,
karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad
baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang
diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa
menggunakan sistem bunga.
5.
الإِجَازَةُ
اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ
“Izin yang
datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih
dahulu.”
Seperti telah dikemukakan pada
kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap
harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan kaidah
diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan
kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah,
dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
6.
الأَجْرُ وَالضَّمَانُ
لاَ يَجْتَمِعَانِ
“Pemberian upah
dan tanggung jawab untuk mengggannti kerugian tidak berjalan bersamaan.””
Yang disebut dengan dhaman atau
ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama.
Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut
apabila barangnya tidak ada di pasaran.
Contoh, seorang penyewa kendaraan
penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk
membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak
berat. Maka, si penyewa harus menganti kerusakan tersebut dan tidak perlu
membayar sewaannya.[10]
7.
الجَرَاجُ بِالضَّمَانِ
“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti
kerugian.”
Arti asal al-kharaj adalah sesuatu
yang di kkeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon
mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah
atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
Contonya, seekor binatang
dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh
meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi
sudah menjadi hak pembeli.
8.
الغَرْمُ بِالغَنْمِ
“Resiko itu menyertai Manfaat.”
Maksudnya adalah bahwa seseorang
yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya notaris adalah
tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk ditanggung
bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka dia wajib
mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan
ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada pemilik barang.
9.
إِذَا بَطَلَ
الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ
“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada
dalam tanggunggannya.”
Contonya, penjual dan pembeli telah
melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual
telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi.
Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga
barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si
penjual harus mengembalikan harga barangnnya.
10.
العَقْدُ عَلَى
الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا
“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah
seperti akad terhadap manfaat benda tersebut.”
Objek suatu akad bisa berupa barang
tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu barang seperti
sewa-menyewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker.
Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang
adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11.
كُلُّ مَايَصِحُّ
تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ
“Setiap akad
Mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan
sementara.”
Akad mu’awadhah adalah akad yang
dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dak kewajiban, seperti
jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak
terhadap harga barang. Di pihak lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan
harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam
ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi
waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa.
[11]
12.
الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ
“Setiap perintah
untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”
Maksud kaidah ini adalah apabila
seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang
dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya,
seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual
barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.
13.
لاَيَتِمُّ
التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ
“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan
penyerahan barang.”
Akad tabarru’ adalah akad yang
dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut
belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.
14.
الجَوَازُ الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ
“Suatu hal yang
dibolehkan oleh syara’ tidak dapat
dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”
Maksud kaidah ini adalah sesuatu
yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat
dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat
miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut
dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab
menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.[12]
15.
لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ
“Sesuatu benda
tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum
yang telah tetap.”
16.
كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ
“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya
telah diterima.”
Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini,
adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk
menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian
dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian
dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
17.
كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ
“Setiap syarat
untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat
tersebut dibolehkan.”
Contonya seperti dalan gadai emas
kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian
bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan
memilih, syarat tercatat di notaris.
18.
كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ
“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan
jaminan.”
19.
مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ
“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
Sudah barang tentu ada
kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh
digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
20.
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا
“Setiap pinjaman
dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adlah sama dengan riba.”
Kadi Abd al-Wahab Al-Maliki dalam
kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ
“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”
D. Penerapan Prinsip Syariah dalam Operasional Produk
Perbankan
Pengertian prinsip syariah dalam peraturan
perundang-undangan pertama kali dikemukakan melalui UU No. 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yakni aturan perjanjian
berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana dan
atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai
dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), dan
lain-lain.
Pengertian
prinsip syariah juga tertuang dalam Pasal 1 angka 12 No. 12 Tahun 2008 yakni
prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan
oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
Berdasarkan ketentuan ini, maka apa itu prinsip dan implementasinya dalam
praktik perbankan terkait dengan rukun dan syaratnya berpedoman pada berbagai
fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yang terkait dengan Perbankan Syariah.[13]
Pengaturan
prinsip kegiatan usaha perbankan syariah tersebut telah dituangkan dalam Pasal
2 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 sebagai berikut:[14]
1. Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan
usahanya berdasarkan prinsip syariah, yaitu kegiatan usaha usaha yang tidak
mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.
2. Demokrasi ekonomi, perbankan syariah adalah
kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan,
pemerataan, dan kemanfaatan.
3. Prinsip kehati-hatian, perbankan syariah
adalah kegiatan usaha perbankan syariah yang didasarkan pada pedoman
pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat,
dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
[1] http://www.subkialbughury.com/2011/02/prinsip-dasar-fiqh-muamalah/,
diakses tanggal 4 Mei 2012.
[5] http://ceritateladan.com/2011/11/prinsip-prinsip-dasar-muamalah/
diakses tanggal 4 Mei 2012.
The Titanium Nitride - Titanium - TITanium Art
BalasHapusIn the 1920s, the industry was developing a titanium chords sophisticated and revolutionary titanium flat irons engine capable of producing joico titanium more mens titanium wedding rings than 300 000-1,000,000 titanium pry bar horsepower. The Nitride was
cc802 jordan 6 infrared,jordan 1 obsidian,jordan 1 royal,jordan 4 travis scott,aj11,aj 1 black toe,jordan 12 flugame,aj1,yeezy 700 mauve
BalasHapus