Prinsip, Asas, dan Kaidah Fiqih Muamalah langkahsupian

langkah supian
2

A.Prinsip-prinsip Hukum Fiqih Muamalah
Sebagai sistem kehidupan, Islam memberikan warna dalam setiap dimensi kehidupan manusia, tak terkecuali dunia ekonomi. Sistem Islam ini berusaha mendialektikkan nilai-nilai ekonomi dengan nilai akidah atau pun etika. Artinya, kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh manusia dibangun dengan dialektika nilai materialisme dan spiritualisme. Kegiatan ekonomi yang dilakukan tidak hanya berbasis nilai materi, akan tetapi terdapat sandaran transendental di dalamnya, sehingga akan bernilai ibadah. Selain itu, konsep dasar Islam dalam kegiatan muamalah (ekonomi) juga sangat konsen terhadap nilai-nilai humanisme. Di antara prinsip dasar  fiqh muamalah adalah sebagai berikut :[1]
1.   Prinsip Dasar
a.      Hukum Asal dalam Muamalah adalah Mubah (diperbolehkan).
            Ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal dalam transaksi muamalah adalah diperbolehkan (mubah), kecuali terdapat nash yang melarangnya. Dengan demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa sebuah transaksi itu dilarang sepanjang belum/ tidak ditemukan nash yang secara sharih melarangnya. Berbeda dengan ibadah, hukum asalnya adalah dilarang. Kita tidak bisa melakukan sebuah ibadah jika memang tidak ditemukan nash yang memerintahkannya, ibadah kepada Allah tidak bisa dilakukan jika tidak terdapat syariat dari-Nya.
            Allah berfirman: “Katakanlah, Terangkanlah kepadaku tentang rizki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal. Katakanlah, Apakah Allah telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terhadap Allah?” (QS.Yunus:59).          Ayat ini mengindikasikan bahwa Allah memberikan kebebasan dan kelenturan dalam kegiatan muamalah, selain itu syariah juga mampu mengakomodir transaksi modern yang berkembang.

b.      Konsep Fiqih Muamalah untuk Mewujudkan Kemaslahatan
            Fiqih muamalah akan senantiasa berusaha mewujudkan kemaslahatan, mereduksi permusuhan dan perselisihan di antara manusia. Allah tidak menurunkan syariah, kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia. [2]

c.       Menetapkan Harga yang Kompetitif
            Masyarakat sangat membutuhkan barang produksi, tidak peduli ia seorang yang kaya atau miskin, mereka menginginkan konsumsi barang kebutuhan dengan harga yang lebih rendah. Harga yang lebih rendah (kompetitif) tidak mungkin dapat diperoleh kecuali dengan menurunkan biaya produksi. Untuk itu, harus dilakukan pemangkasan biaya produksi yang tidak begitu krusial, serta biaya-biaya overhead lainnya.
            Islam melaknat praktik penimbunan (ikhtikar), karena hal ini berpotensi menimbulkan kenaikan harga barang yang ditanggung oleh konsumen. Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang men-supply barang akan diberi rizki, dan orang yang menimbunnya akan mendapat laknat” dalam hadits lain Rasul bersabda: “Sejelek-jelek hamba adalah seorang penimbun, yakni jika Allah (mekanisme pasar) menurunkan harga, maka ia akan bersedih, dan jika menaikkannya, maka ia akan bahagia” .
            Di samping itu, Islam juga tidak begitu suka (makruh) dengan praktik makelar (simsar), dan lebih mengutamakan transaksi jual beli (pertukaran) secara langsung antara produsen dan konsumen, tanpa menggunakan jasa perantara. Karena upah untuk makelar, pada akhirnya akan dibebankan kepada konsumen. Untuk itu Rasulullah melarang transaksi jual beli hadir lilbad , yakni transaksi yang menggunakan jasa makelar.
            Imam Bukhari memberikan komentar bahwa praktik ini akan dapat memicu kenaikan harga yang hanya akan memberatkan konsumen. Dalam hadits lain Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melakukan jual beli talaqqi rukban ” yakni, janganlah kalian menjemput produsen yang sedang berjalan ke pasar di pinggiran kota, kalian membeli barang mereka dan menjualnya kembali di pasaran dengan harga yang lebih tinggi.”

d.      Meninggalkan Intervensi yang Dilarang
            Islam memberikan tuntunan kepada kaum muslimin untuk mengimani konsepsi qadla’ dan qadar Allah (segala ketentuan dan takdir). Apa yang telah Allah tetapkan untuk seorang hamba tidak akan pernah tertukar dengan bagian hamba lain, dan rizki seorang hamba tidak akan pernah berpindah tangan kepada orang lain. Perlu disadari bahwa nilai-nilai solidaritas sosial ataupun ikatan persaudaraan dengan orang lain lebih penting daripada sekedar nilai materi. Untuk itu, Rasulullah melarang untuk menumpangi transaksi yang sedang dilakukan orang lain, kita tidak diperbolehkan untuk intervensi terhadap akad atau pun jual beli yang sedang dilakukan oleh orang lain. Rasulullah bersabda: “Seseorang tidak boleh melakukan jual beli atas jual beli yang sedang dilakukan oleh saudaranya” .

e.       Menghindari Eksploitasi
            Islam mengajarkan kepada pemeluknya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan, dimana Rasulullah bersabda: “Sesama orang muslim adalah saudara, tidak mendzalimi satu sama lainnya, barang siapa memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan barang siapa membantu mengurangi beban sesama saudaranya, maka Allah akan menghilangkan bebannya di hari kiamat nanti” .
            Semangat hadits ini memberikan tuntunan untuk tidak mengeksploitasi sesama saudara muslim yang sedang membutuhkan sesuatu, dengan cara menaikkan harga atau syarat tambahan yang memberatkan. Kita tidak boleh memanfaatkan keadaan orang lain demi kepentingan pribadi. Untuk itu, Rasulullah melarang melakukan transaksi dengan orang yang sedang sangat membutuhkan (darurat) , Allah berfirman: “dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangan” (QS. Al A’raf:85).

f.        Memberikan Kelenturan dan Toleransi
            Toleransi merupakan karakteristik dari ajaran Islam yang ingin direalisasikan dalam setiap dimensi kehidupan. Nilai toleransi ini bisa dipraktikkan dalam kehidupan politik, ekonomi atau hubungan kemasyarakatan lainnya. Khusus dalam transaksi finansial, nilai ini bisa diwujudkan dengan memper-mudah transaksi bisnis tanpa harus memberatkan pihak yang terkait. Karena, Allah akan memberikan rahmat bagi orang yang mempermudah dalam transaksi jual beli.
            Selain itu, kelenturan dan toleransi itu bisa diberikan kepada debitur yang sedang mengalami kesulitan finansial, karena bisnis yang dijalankan sedang mengalami resesi. Melakukan re-scheduling piutang yang telah jatuh tempo, disesuaikan dengan kemapanan finansial yang diproyeksikan. Di samping itu, tetap membuka peluang bagi para pembeli yang ingin membatalkan transaksi jual beli, karena terdapat indikasi ke-tidak-butuh-annya terhadap obyek transaksi (inferior product).

g.      Jujur dan Amanah
            Kejujuran merupakan bekal utama untuk meraih keberkahan. Namun, kata jujur tidak semudah mengucapkannya, sangat berat memegang prinsip ini dalam kehidupan. Seseorang bisa meraup keuntungan berlimpah dengan lipstick kebohongan dalam bertransaksi. Sementara, orang yang jujur harus menahan dorongan materialisme dari cara-cara yang tidak semestinya. Perlu perjuangan keras untuk membumikan kejujuran dalam setiap langkah kehidupan.
            Kejujuran tidak akan pernah melekat pada diri orang yang tidak memiliki nilai keimanan yang kuat. Seseorang yang tidak pernah merasa bahwa ia selalu dalam kontrol dan pengawasan Allah SWT. Dengan kata lain, hanyalah orang-orang beriman yang akan memiliki nilai kejujuran. Untuk itu, Rasulullah memberikan apresiasi khusus bagi orang yang jujur, “Seorang pedagang yang amanah dan jujur akan disertakan bersama para Nabi, siddiqin (orang jujur) dan syuhada” .
            Satu hal yang bisa menafikan semangat kejujuran dan amanah adalah penipuan. Dalam konteks bisnis, bentuk penipuan ini bisa diwujudkan dengan melakukan manipulasi harga, memasang harga tidak sesuai dengan kriteria yang sebenarnya. Menyembunyikan cacat yang bisa mengurangi nilai obyek transaksi. Dalam hal ini, Rasulullah bersabda, “Tidak dihalalkan bagi pribadi muslim menjual barang yang diketahui terdapat cacatnya, tanpa ia memberikan informasinya” .
            Sebenarnya, masih terdapat beberapa prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam kehidupan muamalah. Di antaranya, menjauhi adanya gharar dalam transaksi, ketidakjelasan (uncertainty) yang dapat memicu perselisihan dan pertengkaran dalam kontrak bisnis. Semua kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis harus dijelaskan secara detil, terutama yang terkait dengan hak dan kewajiban, karena hal ini berpotensi menimbulkan konflik.
            Ketika kontrak bisnis telah disepakati, masing-masing pihak terkait harus melakukan kewajiban yang merupakan hak bagi pihak lain, dan sebaliknya. Sebisa mungkin dihindari terjadinya wan prestasi. Memiliki komitmen untuk menjalankan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak bisnis. Allah berfirman dalam QS al-Maidah ayat 1. Dan yang terpenting, dalam menjalankan kontrak bisnis harus dilakukan secara profesional. Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai seorang hamba yang profesional dalam menjalankan pekerjaannya” .[3]

2.      Prinsip umum
a.       Ta’awun (tolong-menolong)
b.      Niat / itikad baik
c.       Al-muawanah / kemitraan
d.      Adanya kepastian hukum.
            Setelah mengenal prinsip-prinsip dalam fiqh muamalat, ada prinsip dasar yang harus dipahami dalam interaksi ekonomi. Ada 5 hal yang perlu diingat sebagai landasan tiap kali seorang muslim akan berinteraksi ekonomi. Kelima hal ini menjadi batasan secara umum bahwa transaksi yang dilakukan sah atau tidak, lebih dikenal dengan singkatan MAGHRIB, yaitu Maisir, Gharar, Haram, Riba, dan Bathil.[4]
a.      Maisir
            Maisir sering dikenal dengan perjudian karena dalam praktik perjudian seseorang bisa untung atau bisa rugi.
b.      Gharar
            Setiap transaksi yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Boleh dikatakan bahwa konsep gharar berkisar kepada makna ketidaktentuan dan ketidakjelasan sesuatu transaksi yang dilaksanakan, secara umum dapat dipahami sebagai berikut :
1)      Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu wujud atau tidak;
2)      Sesuatu barangan yang ditransaksikan itu mampu diserahkan atau tidak;
3)      Transaksi itu dilaksanakan secara yang tidak jelas atau akad dan kontraknya tidak jelas, baik dari waktu bayarnya, cara bayarnya, dan lain-lain.
                        Misalnya membeli burung di udara atau ikan dalam air atau membeli ternak yang masih dalam kandungan induknya termasuk dalam transaksi yang bersifat gharar.
c.       Haram
            Ketika objek yang diperjualbelikan ini adalah haram, maka transaksi nya mnejadi tidak sah. Misalnya jual beli khamr, dan lain-lain.



d.      Riba
            Riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan.
e.       Bathil
            Dalam melakukan transaksi, prinsip yang harus dijunjung adalah tidak ada kedzhaliman yang dirasa pihak-pihak yang terlibat. Semuanya harus sama-sama rela dan adil sesuai takarannya. Maka, dari sisi ini transaksi yang terjadi akan merekatkan ukhuwah pihak-pihak yang terlibat dan diharap agar bisa tercipta hubungan yang selalu baik. Kecurangan, ketidakjujuran, menutupi cacat barang, mengurangi timbangan tidak dibenarkan. Atau hal-hal kecil seperti menggunakan barang tanpa izin, meminjam dan tidak bertanggungjawab atas kerusakan harus sangat diperhatikan dalam bermuamalat.[5]
            Secara global ruang lingkup pembahasan fikih muamalah, adalah sebagai berikut:[6]
1.      Hukum benda: konsep harta, konsep hak, dan konsep tentang hak milik
2.      Konsep umum akad: pengertian akad, unsur-unsur akad, macam-macam akad.
3.      Aneka macam akad transaksi muamalah: jual-beli, sewa-menyewa, utung-piutang, dan lain-lain.

B. Asas-asas Hukum Fiqih Muamalah
            Pengaturan transaksi kegiatan perekonomian yang berbasis syariat islam dilaksanakan dengan memenuhi asas-asas dalam perjanjian islam ataupun fiqih muamalah, diantaranya sebagai berikut:[7]

1.      Asas Al-Huriyah (kebebasan)
            Dengan memperlakukan asas kebebasan dalam kegiatan perekonomian termasuk pengaturan dalam hukum perjanjian. Para pihak yang melaksanakan akaddidasarkan pada kebebasan dalam membuat perjanjian baik objek perjanjian maupun persyaratan lainnya.
2.      Asas Al-Musawah (persamaan dan kesetaraan)
            Perlakuan asas ini adalah memberikan landasan bagi kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai kedudukan yang sama antara satu dengan lainnya.
3.      Asas Al-Adalah (keadilan)
            Pelaksaan asas keadilan dalam akad manakala para pihak yang melakukan akad dituntut untuk berlaku benar dalam mengungkapkan kepentingan-kepentingan sesuai dengan keadaan dalam memenuhi semua kewajiban.
4.      Asas Al-Ridho (kerelaan)
            Pemberlakuan asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak
5.      Asas Ash-Shidiq (kejujuran)
            Kejujuran merupakan nilai etika yang mendasar dalam islam. Islam adalah nama lain dari kebenaran. Nilai kebenaran memberi pengaruh terhadap pihak yang melakukan perjanjian yang telah dibuat.
Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:
1.    Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.
2.    Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.
3.    Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul). Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya. Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang.

C. Kaidah-Kaidah Fiqih Muamalah
1.       
الأَصْلُ فِي المُعَامَلَةِ الإِبَاحَةُ الاَّ أَنْ يَدُ لَّ  دَلِيْلٌ عَلىَ تَحْرِيْمِهَا

“Hukum asal  semua bentuk muamlah adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang Mengharamkannya.”
            Maksud kaidah ini adalah bahwa dalam setiap muamalah dan transaksi, pada dasarnya boleh, seperti jual beli, sewa menyewa, gadai, kerja sama (mudharabah dan Musyarakah), perwakilan, dan lain-lain. Kecuali yang tegas-tegas diharamkan seperti mengakibatkan kemudaratan, tipuan, judi, dan riba.[8]
2.       
الأَصْلُ فِي العَقْدِ رِضَي المُتَعَاقِدَ يْنِ وَنَتَيْجَتُهُ مَا إِلتَزَمَاهُ بِااتَّعَا قُدِ

“Hukum asal dalam transaksi adalah keridhaan Kedua belah pihak yang Berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang dilakukan.”
            Keridhaan dalam transaksi adalah merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila didasarkan kepada keridhaan kedua belah pihak. Artinya. Tidak sah suatu akad apabila salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa atau juga merasa tertipu. Bisa terjadi pada waktu akad sudah saling meridhai, tetapi kemudian salah satu pihak merasa tertipu, artinya hilang keridhaannya, maka akd tersebut bisa batal. Contohnya seperti pembeli yang merasa tertipu karena dirugikan oleh penjual karena barangnya terdapat cacat.
Ungkapan yang lebih singkat dari Ibnu Taimiyah:

الأَصْلُ فِي العُقُودْ رِضَا المُتَعَاقِدَ يْنِ

“Dasar dari akad adalah keridhaan kedua belah pihak.”
3.       
لاَ يَجُورُ لِأَحَدِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلاَ إِذْ نِهِ

“Tiada seorang punboleh melakukan tindakan hukum atas milik orang lain tanpa izin si pemilik harta.”
            Atas dasar kaidah ini, maka si penjual haruslah pemilik barang yang di jual atau wakil dari pemilik barang atau yang yang diberi wasiat atau wakilnya. Tidak ada hak orang lain pada barang yang dijual.[9]
4.       
البَا طِلُ لاَ يَقْبَلُ الإِجَازَةَ

“Akad yang batal tidak menjadi sah karena dibolehkan.”
            Akad yang batal dalam hukum islam dianggap tidak ada atau tidak pernah terjadi. Oleh karena itu, akad yang batal tetap tidak sah walaupun diterima oleh salah satu pihak. Contohnya, bank syariah tidak boleh melakukan akad dengan lembaga keuangan lain yang menggunakan sistem bunga, meskipun sistem bunga dibolehkan oleh pihak lain, karena sistem bunga sudah dinyatakan haram oleh Dewan Syariah Nasional. Akad baru sah apabila lembaga keuangan itu mau mengunakan akad-akad yang diperlakukan pada bank syariah, yaitu akad-akad atau transaksi tanpa menggunakan sistem bunga.
5.       
الإِجَازَةُ اللاَحِقَةِ كَالوِ كَالَةِ السَّابِقَةِ

“Izin yang datang kemudian sama kedudukannya dengan perwakilan yang telah dilakukan lebih dahulu.”
            Seperti telah dikemukakan pada kaidah no. 3 bahwa pada dasarnya seseorang tidak boleh bertindak hukum terhadap harta milik orang lain tanpa seizin pamiliknya. Tetapi berdasarkan kaidah diatas, apabila seseorang bertindak hukum pada harta milik orang lain, dan kemudian si pemilik harta mengizinkannya, maka tindakan hukum itu menjadi sah, dan orang tadi dianggap sebagai perwakilan dari si pemilik harta.
6.       
الأَجْرُ وَالضَّمَانُ لاَ يَجْتَمِعَانِ

“Pemberian upah dan tanggung jawab untuk mengggannti kerugian tidak berjalan bersamaan.””
            Yang disebut dengan dhaman atau ganti rugi dalam kaidah tersebut adalah mengganti dengan barang yang sama. Apabila barang tersebut ada di pasaran atau membayar seharga barang tersebut apabila barangnya tidak ada di pasaran.
            Contoh, seorang penyewa kendaraan penumpang untuk membawa keluarganya, tetapi si penyewa menggunakannya untuk membawa barang-barang yang berat yang mengakibatkan kendaraan tersebut rusak berat. Maka, si penyewa harus menganti kerusakan tersebut dan tidak perlu membayar sewaannya.[10]
7.       
الجَرَاجُ بِالضَّمَانِ

“Manfaat suatu benda merupakan faktor pengganti kerugian.”
            Arti asal al-kharaj adalah sesuatu yang di kkeluarkan baik manfaat benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau benda maupun pekerjaan, seperti pohon mengeluarkan buah atau binatang mengeluarkan susu. Sedangkan al-dhaman adalah ganti rugi.
            Contonya, seekor binatang dikembalikan oleh pembelinya dengan alasan cacat. Si penjual tidak boleh meminta bayaran atas penggunaan binatang tadi. Sebab, penggunaan binatang tadi sudah menjadi hak pembeli.
8.       
الغَرْمُ بِالغَنْمِ

“Resiko itu menyertai Manfaat.”
            Maksudnya adalah bahwa seseorang yang memanfaatkan sesuatu harus menanggung resiko. Biaya notaris adalah tanggung jawab pembeli kecuali ada keridhaan dari penjual untuk ditanggung bersama. Demikian pula halnya, seseorang yang meminjam barang maka dia wajib mengembalikan barang dan resiko ongkos-ongkos pengembaliannya. Berbeda dengan ongkos mengangkut dan memelihara barang, dibebankan kepada pemilik barang.
9.       
إِذَا بَطَلَ الشَّيْئُ بَطَلَ مَافِي ضَمْنِهِ

“Apabila sesuatu akad batal, maka batal pula yang ada dalam tanggunggannya.”
            Contonya, penjual dan pembeli telah melaksanakan akad jual beli. Si pembeli telah menerima barang dan si penjual telah menerima uang. Kemudian kedua belah pihak membatalkan jual beli tadi. Maka, hak pembeli terhadap barang menjadi batal dan hak penjual terhadap harga barang menjadi batal. Artinya si pembeli harus mengembalikan barangnya dan si penjual harus mengembalikan harga barangnnya.
10.   
العَقْدُ عَلَى الأَعْيَانِ كَالعَقْدِ عَلَى مَنَافِعِهَا

“Akad yang objeknya suatu benda tertentu adalah seperti akad terhadap manfaat benda tersebut.”
            Objek suatu akad bisa berupa barang tertentu, misalnya jual beli, dan bisa pula berupa manfaat suatu barang seperti sewa-menyewa. Bahkan sekarang, objeknya bisa berupa jasa seperti jasa broker. Maka, pengaruh hukum dari akad yang objeknya barang atau manfaat dari barang adalah sama, dalam arti rukun dan syaratnya sama.
11.   
كُلُّ مَايَصِحُّ تَأْبِيْدُهُ مِنَ العُقُودِ المُعَاوَضَاتِ فَلاَ يَصِحَّ تَوْقِيْتُهُ

“Setiap akad Mu’awadhah yang sah diberlakukan selamanya, maka tidak sah diberlakukan sementara.”
            Akad mu’awadhah adalah akad yang dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memiliki hak dak kewajiban, seperti jual beli. Satu pihak (penjual) berkewajiban menyerahkan barang dan berhak terhadap harga barang. Di pihak lain, yaitu pembeli berkewajiban menyerahkan harga barang dan berhak terhadap barang yang dibelinya. Dalam akad yang semacam ini tidak sah apabila dibatasi waktunya, sebab akad jual beli tidak dibatasi waktunya. Apabila waktunya dibatasi, maka bukan jual beli tapi sewa menyewa. [11]
12.   
 الأَمْرُ بِالتَّصَرُّفِ فِي مِلْكِ الغَيْرِ بَاطِلٌ

“Setiap perintah untuk bertindak hukum terhadap hak milik orang lain adalah batal.”
            Maksud kaidah ini adalah apabila seseorang memerintahkan untuk bertransaksi terhadap milik orang lain yang dilakukannya seperti terhadap miliknya sendiri, maka hukumnya batal. Contohnya, seorang kepala penjaga keamanan memerintahkan kepada bawahannya untuk menjual barang yang dititipkan kepadanya, maka perintah tersebut adalah batal.
13.   
لاَيَتِمُّ التَّبرُّعث إِلاَّ بِالقَبْضِ

“Tidak sempurna akad tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang.”
            Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.
14.   
الجَوَازُ الشَّرْعِي يَنَافِي الضَّمَانِ  

“Suatu hal yang dibolehkan oleh  syara’ tidak dapat dijadikan objek tuntutan ganti rugi.”
            Maksud kaidah ini adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syariah baik melakukan atau meninggalkannya, tidak dapat dijadikan tuntutan ganti rugi. Contohnya, si A menggali sumur di tempat miliknya sendiri. Kemudian binatang tetangganya jatuh ke dalam sumur tersebut dan mati. Maka, tetangga tadi tidak bisa menuntut ganti rugi kepada si A, sebab menggali sumur di tempatnya sendiri dibolehkan oleh syariah.[12]
15.   
لاَيُنْزَعُ شَيْءٌمِنْ يَدٍ أَحَدٍ إِلاَّ بِحَقّ ثَابِتِ

“Sesuatu benda tidak bisa dicabut dari tangan seseorang kecuali atas dasar ketentuan hukum yang telah tetap.”


16.   
كُلُّ قَبُولٍ جَائِزٌ أَنْ يَكُوْنَ قَبِلْتُ

“Setiap kabul/penerimaan boleh dengan ungkapan saya telah diterima.”
            Sesungguhnya berdasarkan kaidah ini, adalah sah dalam setiap akad jual beli, sewa menyewa, dan lain-lain. Akad untuk menyebut qabiltu (saya telah terima) dengan tidak mengulangi rincian dari ijab. Rincian ijab itu, seperti saya jual barang ini dengan harga sekian dibayar tunai, cukup dijawab dengan “saya terima”.
17.   
كُلُّ شَرْطٍ كَانَ مِنْ مَصْلَحَةِ العَقْدِ أَوْ مِنْ مُقْتَضَاهُ فَهُوَ جَائِزٌ

“Setiap syarat untuk kemaslahatan akad atau diperlukan oleh akad tersebut, maka syarat tersebut dibolehkan.”
            Contonya seperti dalan gadai emas kemudian ada syarat bahwa apabila barang gadai tidak ditebus dalam waktu sekian bulan, maka penerima gadai berhak untuk menjualnya. Atau syarat kebolehan memilih, syarat tercatat di notaris.
18.   
كُلُّ مَاصَحَّ الرَّهْنُ بِهِ صَحَّ ضَمَا نُهُ

“Setiap yang sah digadaikan, sah pula dijadikan jaminan.”
19.   
مَاجَازَ بَيْعُهُ جَازَ رَهْنُهُ

“Apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan.”
            Sudah barang tentu ada kekecualiannya, seperti manfaat barang boleh disewakan tapi tidak boleh digadaikan karena tidak bisa di serah terimakan.
20.   
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا

“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh Kreditor) adlah sama dengan riba.”
            Kadi Abd al-Wahab Al-Maliki dalam kitabnya, al-isyraf, mengungkapnya dengan:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ حَرَامٌ

“Setiap pinjaman dengan menarik manfaat (oleh kreditor) adalah haram.”

D. Penerapan Prinsip Syariah dalam Operasional Produk Perbankan
            Pengertian prinsip syariah dalam peraturan perundang-undangan pertama kali dikemukakan melalui UU No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yakni aturan perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dan pihak lain untuk menyimpan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), dan lain-lain.
            Pengertian prinsip syariah juga tertuang dalam Pasal 1 angka 12 No. 12 Tahun 2008 yakni prinsip hukum islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Berdasarkan ketentuan ini, maka apa itu prinsip dan implementasinya dalam praktik perbankan terkait dengan rukun dan syaratnya berpedoman pada berbagai fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yang terkait dengan Perbankan Syariah.[13]
            Pengaturan prinsip kegiatan usaha perbankan syariah tersebut telah dituangkan dalam Pasal 2 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 sebagai berikut:[14]
1.      Perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, yaitu kegiatan usaha usaha yang tidak mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.
2.      Demokrasi ekonomi, perbankan syariah adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan.
3.      Prinsip kehati-hatian, perbankan syariah adalah kegiatan usaha perbankan syariah yang didasarkan pada pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


                [1] http://www.subkialbughury.com/2011/02/prinsip-dasar-fiqh-muamalah/, diakses tanggal  4 Mei 2012.
                [2] Ibid.
                [3] Ibid.
                [4] Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Ciputat : UIN jakarta Press, 2005), cet.1, h. 5.
                [5] http://ceritateladan.com/2011/11/prinsip-prinsip-dasar-muamalah/ diakses tanggal  4 Mei 2012.
                [6] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, ,  (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 4.
                [7] Jundiani, Pengaturan Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, (Malang: UIN-Malang Press, 2009), h. 46.
                [8] Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana, 2006), Ed.1, cet.1. h. 128-137.
                [9] Ibid, h. 129.
                [10] Ibid, h. 130.
                [11] Ibid, h. 133.
                [12] ibid, h. 135.
                [13] Abdul Ghofur Anshori, Pembentukan Bank Syariah Melalui Akuisisi dan Konversi: Pendekatan Hukum Positif dan Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2010), h. 54.
                [14] Ibid, h. 65-66.

Posting Komentar

2Komentar

Posting Komentar