Adab-Adab
Ketika Berjumpa
-
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Salinglah kalian berjabat tangan,
dengan begitu akan menghilangkan perasaan benci, dan salinglah
kalian menghadiahi niscaya kalian akan slaing mencintai dan akan menghilangkan
perasaan dendam “[1]
-
Dan beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “ Tidaklah
dua orang muslim yang saling berjumpa, kemudian keduanya saling berjabat tangan
kecuali keduanya akan diampuni sebelum mereka berpisah “[2]
Beberapa
Adab ketika berjumpa :
- Disenangi untuk saling berjabat tangan
Telah disebutkan beberapa atsar, bahwa dengan berjabat tangan akan
menghilangkan perasaan benci, dan menjadi sebab terampuninya dosa. Dan berjabat
tangan adalah amalan yang dianjurkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,
dan amalan yang telah dicontohkan oleh para sahabat beliau radhiallahu ‘anhum.
Qatadah
mengatakan : “ Saya bertanya kepada Anas : Apakah saling berjabat tangan sudah
menjadi amalan dikalangan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ?
Beliau
menjawab : Iya “[3]
Dan juga pada kisah taubat dari Allah bagi Ka’ab, beliau berkata : “
Saya masuk kedalam masjid, yang ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah berada didalamnya. Lalu
thalhah bin ‘Ubaidullah berdiri berjalan bergegas menjumpaiku hingga menjabat
tanganku dan mengucapkan selamat kepadaku “[4]
Dan
pada hadits Anas radhiallahu ‘anhu, ketika penduduk Yaman datang, Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “ Penduduk
Yaman telah datang dan mereka adalah orang-orang yang lebih lembut hatinya
dibandingkan dengan kalian “. Dan merekalah yang pertama kali datang dengan
berjabat tangan[5].
Dan
dari hadits Al-Barra` bin ‘Azib beliau mengatakan : “ Diantara kesempurnaan
ucapan salam danahdenganmenjabat tangan saudaramu “[6]
Berjabat tangan adalah sunnah disaat
bertemu dan merupakan penegas ucapan salam. Disebutkan didalam Al-Adab
Al-Mufrad : “ Ketahuilah bahwa sesungguhnya berjabat tangan ketika bertemu
merupakan penyerta dan penegas ucapan salam dari lisan. Karena ucapan salam
adalah pemberitahuan keamanan dari ucapan sementara berjabat tangan laksana
penyetujuan, pengulangan dan penegasan salam yang diucapkannya, dengan dmeikian
kedua yang saling bertemu merasa dalam keadaan aman dari temannya masing-masing[7].
Dan setelah pencantuman beberapa atsar yang menunjukkan bolehnya
berjabat tangan, maka janganlah kami hingga menyangka ada seorang muslim yang masih pelit bagi
dirinya sendiri untuk mendapatkan kebaikan atau cenderung kepada suatu amalan
sunnah !
Masalah
: Dan telah menjadi kebiasan kaum manusia untuk menjabati tangan imam shalat
mereka atau yang berada disamping mereka selepas mengerjakan shalat-shalat
wajib. Apakah perbuatan itu suatu yang disyariatkan ?
Jawab
: Berjabat tangan selepas mengerjakan shalat yang
wajib bukan suatu yang disyariatkan dan sama sekali tidak pernah terjadi
dizaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , para Khalifah Rasyidin dan tidak
juga oleh para sahabat beliau yang mulia. Da melakukan hal itu merupakan
pengada-adaan didalam agama Islam yang tidak diperbolehkan oleh Allah ta’ala.
Fadhlullah Al-Jaelani mengatakan
: “ Ibnu ‘Abidin berkata : Seringnya
melakukan perbuatan tersebut secara khusus setelah pengerjaan shalat-shalat
wajib akan menyebabkan karena kebodohan seseorang,persangkaan bahwa perbuatan
tersebut adalah amalan yang sunnah pada tempat-tempat tersebut. Sedangkan
amalan tersebut adalah amalan tambahan yang khusus pada selainnya, dengan apa
yang nampak dari perkataannya bahwa hal tersebut tidaklah dilakukan oleh salah
seorang dari kalangan salaf pada pembahasan ini. Dan dalam Kitab Al-Multaqath :
Dimakruhkan berjabat tangan setelah
menunaikan shalat dalam segala keadaan, dikarenakan para sahabat –
ridhwanullahu ‘alaihim- tidaklah melakukan
yang demikian itu, bahkan hal itu adalah perbuatan sunah orang-orang
rawafidh. Dan para ulama Asy-Syafi’iyah berpendapat berjabat tangan setelah
mengerjakan ibadah shalat adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada dasarnya
didalam syariat dan yang pelakunya dilarang setelah itu mendapat teguran yang
keras.
Didalam Al-Madkhal: Bhawa berjabat tangan setelah shalat adalah
perbuatan yang bid’ah. Dan tempat yang dibenarkan oleh syariat untuk berjabat
tangan adalah disaat seorang muslim bertemu dengan saudaranya bukan disetiap
kali selesai mengerjakan shalat. Maka dimana syariat menempatkan amalan
berjabat tangan disitulah seharusnya ditempatkan. Perbuatan itu seharusnya
dilarang daan pelakunya mendapatkan teguran karena telah melakukan suatu yang
menyalahi as-sunnah[8].
Al-Lajnah Ad-Daa`imah didalam salah
satu fatwanya menyatakan : Apabila seseorang tersebut tidak berkesempatan
berjabat tangan dengannya sebelum pengerjaan shalat, lalu dia menjabat
tangannya setelah mengerjakan salam, baik setelah shalat wajib atau sunnah,
baik berada dikanan atau kirinya. Akan tetapi jikalau setelah pengerjaan shalat
wajib maka setelah membaca zikir-zikir yang disyariatkan sewtelah shalat.
Adapun salam makmu kepada imam seelah mengerjakan shalat, kami tidak mengetahui
ada nash khusus yang menerangkannya[9].
Faedah
:Diriwayatkan oleh Al-Bukhari didalam Al-Adab Al-Mufrad dari riwayat Salamah
bin Wirdan, beliau mengatakan : “ Saya telah melihat Anas bin Malik radhiallahu
‘anhu mengucapkan salam kepada kaum muslimin, lalu beliau bertanya kepadaku,
siapakah anda ? Saya menjawab : Maula bani Laits. Lantas beliau mengusap
kepalaku seraya mengatakan: Baarakallahu fiika “[10]
Berdasarkan atsar diatas,
menunjukkan disunnahkannya mengucapkan salam kepada anak-anak kecil dan
menjabat tangan mereka dimana hal tersebut menunjukkan kasih sayang kepada
mereka, perhatian bagi mereka dan membiasakan mereka dengan perbuatna yang baik.
Dan mengusap kepala anak kecil yang dilakukan oleh Anas radhiallahu ‘anhu,
menunjukkan kecintaan dan kasih sayang beliau kepada anak-anak kecil.
- Diharamkan berjabat tangan dengan wanita yang
bukan mahram
Dalil pengharaman hal tersebut adalah apa yang diriwayatkkan oleh
Al-Bukhari dalam Shahih beliau, dari hadits Aisyah – ummul-mukminin
radhiyallahu anha – dan dari bapaknya – tentang pembai’atan wanitawanita kaum
Muhajirin, beliau berkata : “ … Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
disat mereka – para wanita tersebut – membenarkan hal itu dengan perkataan
mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada mereka : Kembalilah kalian
semua, sesungguhnya saya telah membai’at kalian. Dan sekali-kali demi Allah
tidaklah tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun menyentuh tangan seorang wanita.
Melainkan beliau hanya membai’at mereka dengan perkataan. Demi Allah tidaklah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyentuh wanita disaat membai’atnya kecuali yang Allah perintahkan.
Beliau hanya mengucapkan kepada mereka disaat membai’at mereka : Saya telah
membai’at kalian, dengan sekali ucapan “[11]
Perkataan beliau : “ Dan saya
telah membai’at kalian, dengan ucapan “ yakni beliau mengatakan kalimat itu.
Tidak dengan menjabat tangan, sebagaimana kebiasaan – yakni beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam, pen – membai’at kaum laki-laki sambil menjabat tangan
mereka. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Hajar[12].
Dan pada hadits Umaimah binti Raqiqah radhiallahu ‘anha, terdapat yang
menguatkan hal tersebut. Dan pada haditsnya terdapat penegasan penolakan beliau
menjabat tangan wanita. Dimana sewaktu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membai’at kaum wania, beliau mengatakan : Kami berkata : Allah dan Rasul-Nya
lebih mengasihi kita daripada diri kita sendiri. Marilah, kami hendak membai’at
anda wahai Rasulullah. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“ Sesungguhnya saya tidak menjabat tangan wanita. Sesungguhnya
perkataanku kepada seratus wanita sama dengan perkataanku kepada seorang
wanita, atau semisal dengan ucapanku kepada salah seorang wanita. “[13]
Ibnu Abdil Barr mengatakan : “ Sabda beliau : Sesungguhnya saya tidak
menjabat nagan wanita, menunjukkan bahwa beliau tidak membolehkan seorang
laki-laki menyentuh wanita yang tidak dihalalkan baginya, tidak menyentuh wanita
tersebut dengan tangannya dan tidak pula menjabat tangannya “[14]
Faedah : Sebagian kaum muslimin berkeyakinan bahwa
diperbolehkan menjabat tangan wanita yang bukan mahram dari balik penghalang
atau semisalnya. Dan ini merupakan keyakinan yang keliru. Tidak diperbolehkan
menjabat tangan wanita yang bukan mahram secara mutlak.
Benar ada beberapa atsar yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , bahwa beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah membai’at kaum
wanita dari balik pakaian beliau. Akan tetapi kesemua riwayat tersebut adalah
riwayat-riwayat yang mursal yang sebagiannya tidak dapat menguatkan sebagian
lainnya untuk menolak hadits-hadits yang shahih yang dengan jelas menerangkan
penolakan jabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.
Al-Albani mengatakan : “ Dan telah diriwayatkan hal itu dalam beberapa
riwayat lainnya, akan tetapi kesmeua riwayat tersebut mursal. Al-Hafidz telah
menyebutkanya didalam Al-Fath ( 8 / 488 ). Dan tidak satupun riwayat tersebut
yang dapat dijadikan sandaran, terlebih setelah menyelisihi riwayat yang lebih
shahih …[15]
- Disenangi untuk tidak melepas tangan disaat
berjabat tangan hingga yang dijabat tangani telebih dahulu melepas
tangannya.
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau
mengatakan : “ Apabila Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu dengan seseorang beliau Shallallahu
‘alaihi wa sallam akan menjabat
tangannya dan tidak melepas tangan beliau hingga orang tersebut yang pertama
kali melepas tnagannya … al-hadits “[16]
Dan
pada hadits tersebut menunjukkan disukainya berjabat tangan dan melamakan
menggenggam tangan yang dijabati namun tidak smapai memberatkan.
Masalah
: Dan seandainya dua orang slaing berjabat tangan dan keduanya melamakan
menggenggam tangan, maka siapakah yang lebih dahulu melepaskan tangannya ?
Jawab
: Asy-Syaikh Taqiyuddin mengatakan : “ Acuannya jikalau telah memprediksikan bahwa yang lainnya akan
melepaskan pegangannya maka dia tetap menggenggam. Jikalau tidak maka sekiranya
masing-masing yang berjabat tangan lebih menyenangi untuk saling menggenggam
tangan, maka dapat untuk terus bergenggaman tangan. Akan tetapi ulasan Abdul
Qadir[17]
adalah ulasan yang baik, bahwa yang
lebih dahulu melepas adalah yang memulai[18].
- Berdiri untuk mengucapkan salam kepada seseorang
yang datang
Berdiri menyambut seseorang terbagi menjadi tiga bentuk : Pertama :
Berdiri diatas kepala orang yang merupakan perbuatan penguasa yang sombong.
Kedua berdiri kepada seseorang disaat datang menghampirinya. Dan ini perbuatan yang diperbolehkan. Ketiga
: Berdiri ketika melihatnya, dan ini perbuatan yang masih diperselisihkan
hukumnya.
Adapun
dalil yang pertama : Hadist yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah
radhiallahu ‘anhu : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tengah menderita sakit, maka kami mengerjakan
shalat dibelakang beliau sementara fbeliau mengerjakannya sambil duduk. Dan Abu
Bakar memperdengarkan takbir beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para makmum. Maka beliau menoleh kearah kami dan melihat
kami dalam keadaan berdiri, maka beliau mengisyaratkan agar kami duduk maka
kamipun duduk.
Kemudian
kami mengerjakan shalat bersama beliau sambil duduk. Setelah mengucapkan salam,
beliau bersabda : “ Hampir saja tadi kalian melakukan perbuatan orang-orang Persia dan
Romawi. Mereka berdiri kepada para raja-raja mereka, sementara raja-raja
tersebut duduk. Maka janganlah kalian melakukannya. Ikutilah imam kalian ,
apabila ima shalat berdiri maka shalatlah kalian sambil berdiri dan apabila
imam shalat sambil duduk maka shalatlah kalian sambil duduk. “[19]
Berdiri dengan tujuan seperti ini adalah suatu yang terlarang tanpa
diragukan lagi. Dan hadits diatas dengan sangat djelasnya menunjukkan larangan
orang-orang untuk berdiri menghormati para pembesar mereka atau yang mereka
agungkan. Dan ini termasuk perbuatan para penguasa yang sombong.
Kecuali jika hal itu diperlukan,
seperti jika khawatir kepada seseorang yang kemungkinan akan berbuat
semena-mena kepadanya maka tidak mengapa berdiri menghormatinya. Demikian pula
jika seseorang beridiri untukmemuliakan seseorang yang dilakukannya disaat yang
memang ditujukan untuk pemuliaan orang tersebut. Dan juga jika ditujukan untuk
merendahkan musuh, semisal yang terjadi dengan Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu
‘anhu pada peristiwa perdamaian Hudaibiyah. Kala itu orang-orang Quraisy
mengirim utusan untuk mengajak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berunding dengan mereka. Al-Mughirah bin
Syu’bah saat itu berdiri didekat kepala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan ditnagannya terhunus pedang
sebagai ungkapan pengagungan beliau terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan pnghinaan kepada utusan
orang-orang kafir Quraisy yang diutus ntuk berunding. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Ibnu Utsaimin[20].
Dalil yang kedua : Yang diriwayatkan
oleh Malik didalam Muwaththa’ beliau , berkaitan dengan kisah islamnya ‘Ikrimah
bin Abu Jahl – pada hadits tersebut disebutkan : “ … Lantas beliau memeluk Islam dan mengunjungi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada tahun penaklukan Makkah. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam melihatnya, beliau terhentak
berdiri menghampirinya sebagai ekspresi suka cita beliau dan menanggalkan jubah
beliau hingga beliaupun membai’atnya … al-hadits “[21]
Telah juga dkemukakan kisah taubatnya Ka’ab dan pada kisah tersebut disebutkan
bahwa Thalhah berdiri menyambut beliau untuk mengucapkan selamat. Beliau
mengatakan : “ Saya masuk kedalam masjid, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah berada didalam masjid. Lalu
Thalhah bin ‘Ubaid berdiri bergegas menuju kepadaku hingga menjaba tanganku dan
mengucapkan selamat kepadaku “[22]
Dalil untuk bentuk yang ketiga –
yang diperdebatkan oleh ulama, yaitu berdiri disaat melihat seseorang - :
Hadist
Abu Mijlaz, beliau berkata : bahwa Mu’awiyah
suatu saat keluar sementara Abdullah bin Amir dan Abdullah bin Az-Zubair
sedang duduk. Lalu Ibnu Amir berdiri sementara Ibnu Az-Zubair tetap duduk – dan
beliau yang paling tenang diantara mereka berdua -. Mu’awiyah berkata : Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “ Barang siapa yang merasa senang hamba-hamba
Allah berdiri menghormatinya maka
hendaknya dia menyiapkan tmepat duduknya diapi neraka “[23]
.
Dan
pada lafazh Abu Daud : “ Maka Mu’awiyah berkata kepada Amir : “ Duduklah,
karena sesungguhnya saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda : “ Barang siapa yang
menyukai orang-orang menghormatinya sambil berdiri maka hendaknya dia
mempersiapkan tempat duduknya di api neraka “[24]
Ulama
dalam memahami hadits ini terbagi menjadi tiga kelompok :
Pertama
: Sebagian ulama berpendapat bahwa hadit ini menunjukkan makruhnya berdiri
kepada para penguasa sebagaimana yang dilakukan terhadap para penguasa Persia dan Romawi.
Dan mereka menyertakan hadis ini dengan hadits pada riwayat Muslim yang
menyebutkan makruhnya berdiri diatas kepala seseorang yang duduk, sebagaimana
yang dilakukan orang-orang asing kepada pemimpin-pemimpin mereka.
Pendapat
kedua : Ulama yang berargumen dengan hadist ini akan makruhnya seseorang berdiri bagi seorang yang datang.
Dan mereka berpendapat bahwa hadits ini adlah nsh yang sangat jelas tentang hal
itu. Mu’awiyah radhiallahu ‘anh menyebutkan hadits ini ketika Ibnu Amir berdiri
mlihat beliau. Penyebutan hadits ini pada kejadian ini merupakan indikasi
kuat yang menjelskan maksud dari hadits.
Dan pula, tidak adanya pengingkaran Ibnu Az-Zubair kepada Mu’awiyah radhiallahu
‘anhuma adalah bukti bahwa hal itu suatu yang beliau pahami juga.
Semoga kita bisa mengamalkannya ya Gan~
BalasHapus