Pada zaman dulu ada seorang penjual pakain Yunus bin obaid. pada saat shalat di mesjid dia menyuruh anak saudaranya untuk menjaga barang dagangannya ada yang yang berharga 200 dirham dan ada yang 400 dirham. kemudian datanglah seseorang dari kota menanyakan harga kain, jual beli pun terjadi, kain yang semestinya berharga 200 dirham malah dijual 400 dirham,, selesai shalat yunus bertemu dengan pembeli kain tersebut dan terjadilah percakapan:
Yunus : berapakah saudara membeli kain ini?
Pembeli : 400 dirham.
Yunus : harga kain ini tidak patut melebihi 200 dirham, kembalikanlah ke tempat saudara membelinya.
Pembeli : tidak apa-apa, saya menyukainya, dan di kampung saya, harganya 500 diham.
Yunus : pergilah dan kembalikan, sesungguhnya nasehat dalam agama lebih baik dari dunia dengan segala isinya.
Si pembeli itu pun akhirnya mengikuti nasehat yunus. Sesampainya di tempat jual beli, Yunus mengembalikan 200 dirham kepada pembeli tersebut. Kemudian yunus menegur anak saudaranya:
Yunus : Apakah kamu tidak merasa malu? Tidakkah kamu bertakwa kepada Allah? Kamu mengambil keuntungan sampai berlipat, dan kamu meninggalkan nasihat sesama kaum muslimin?
Keponakannya : demi Allah, dia membelinya dan itu adalah dengan ridhanya sendiri.
Yunus : “Betul!” namun, apakah kamu senang menjual baginya dengan harga yang kamu sendiri tidak senang untuk dirimu sendiri?
Inilah suatu contoh untuk mengambarkan bagaimana eratnya pertalian antara kepentingan ekonomi, dan semangat sosial. Menurut faham ekonomi tidak ada salahnya menjual barang yang semestinya berharga 200 dirham dengan harga 400 dirham. Akan tetapi, perasaan peri kemanusiaan tidak dapat membiarkan dengan harga seorang yang belum mengetahui harga yang sebenarnya membeli dengan hrga yang berlipat ganda seperti itu. (Abdullah Zaky Al Kaaf: 2002)